BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Latar
belakang penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah ushul
fiqh yang diampu oleh Dra.Hj.Zulbaidah.M.Ag. untuk lebih mengetahui serta
memahami pengertian muthlaq dan muqayyad dengan seluruh seluk beluknya.
B.
Tujuan
Tujuan
ditulisnya makalah ini adalah untuk menambah wawasan mengenai pembahasan
muthlaq dan muqayyad serta seluk beluknya. Supaya dapat dipahami oleh pembaca
dan pendengar. Serta makalah ini ditujukan agar bisa menambah pengetahuan untuk
lebih memahami Ushul fiqh secara mendalam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Muthlaq dan Muqayyad
1.
Muthlaq
Dalam
memberikan definisi kepada mutlaq terdapat rumusan yang berbeda, namun saling
berdekatan.
a.
Muhammad al-Khudhari
Beik memberikan definisi:
“mutlaq ialah lafaz
yang memberi petunjuk terhadap satu atau beberapa satuan yang mencakup tanpa
ikatan yang terpisah secara lafzi.”
b.
Al-Amidi memberikan
definisi:
“lafaz yang memberi petunjuk
kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam jenisnya.”
c.
Ibn Subki merumuskan
definisi :
“Mutlaq adalah lafadz
yang memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu tanpa ada ikatan apa-apa.”
d.
Abu Zahrah mengajukan
definisi:
“Lafadz mutlaq adalah
lafaz yang memberi petunjuk terhadap maudhu’-nya (sasaran penggunaan lafaz)
tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifat, tetapi memberi petunjuk kepada
hakikat sesuatu menurut apa adanya.”
Dengan
membandingkan definisi-definisi tersebut jelaslah bahwa mutlaq adalah lafaz
yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad didalamnya. Di sinilah di antara letak perbedaan lafaz mutlaq
dengan lafaz ‘am, meskipun terdapat
istilah “meliputi afrad-nya”.
Dari
segi cakupannya, juga dapat dikatakan bahwa mutlaq itu sama dengan nakirah
(umum) yang disertai oleh tanda-tanda keumuman suatu lafaz, termasuk jama’ nakirah yang belum diberi qayid (ikatan).
Contoh,
dalam firman Allah swt dalam surat al-mujaadilah(58):
3:
tãÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt 4 ÇÌÈ
Artinya: “Maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur.”(Q.S. Al-mujaadilah [58]:3)
Lafaz “raqabah” yang berarti hamba sahaya itu
adalah mutlaq; disamping mencakup afrad-nya yang banyak, juga tidak dibatasi
untuk afrad manapun.
Lafaz
mutlaq dari segi meliputi sejumlah afrad, adalah sama dengan lafaz ‘am. Namun
diantara keduannya terdapat perbedaan yang prinsip. Lafaz ‘am itu umumnya
bersifat bersifat syumuli (melingkupi), sedangkan keumuman dalam lafaz mutlaq
bersifat badali (mengganti). Umum yang bersifat syumuli itu adalah kulli
(keseluruhan) yang berlaku atas satuan-satuan; sedangkan ‘am badali adalah
kulli dari segi tidak terhalang untuk menggambarkan terjadinya kebersamaan,
tapi tidak menggambarkan untuk setiap satuan, hanya menggambarkan satuan yang
meliputi.
Untuk
menggambarkan secara jelas bentuk perbedaan antara lafaz ‘am dan lafaz mutlaq
dari segi perbedaan sifat umumnya itu dapat dilihat dalam contoh dibawah ini:
Bila
seseorang berkata: “saya memakai baju” ucapan tersebut adalah benar, walaupun
yang dipakainya hanya sehelai baju, sedangkan yang bernama “baju” itu bersifat
umum, banyak sekali tanpa batas. Tidak mesti dia memakai seluruh baju untuk
benarnya ucapannnya itu. Baju, dalam contoh ini adalah lafaz mutlaq karena
dalam bentuk nakirah yang mengiyakan. Walaupun yang dipakai dalam contoh diatas
hanya sehelai baju, namun dia mewakili atau menggantikan atau atas nama seluruh
apa yang bernama baju. Inilah yang dimaksud dengan “keumuman lafaz mutlaq itu
bersifat badali itu.
Bila
seseorang berkata “baju itu diperlukan untuk menutupi badan dari sengatan
matahari.” ucapan ini juga benar. Seluruh apa yang bernama “baju” memang
digunakan untuk menutup badan dari sengatan matahari, tanpa kecuali, bukan
hanya sehelai atau dua helai baju tertentu.
Kata “baju” adalah lafaz ‘am karena ia dalam
bentuk ma’rifah yang memakai alif-lam jinsi. Keumuman sifatnya (yang menutupi
badan dari sengatan matahari) itu tidak hanya berlaku untuk sehelai baju
tertentu yang dipakai orang tersebut, tetapi meliputi seluruh apa yang dinamai
baju. Inilah yang dimaksud dengan “keumuman lafaz ‘am adalah bersifat syumuli, yang berarti meliputi semuanya.
Untuk
membedakan antara lafaz ‘am dengan lafaz mutlaq dari segi ruang lingkupnya
secara sederhana dapat dikatakan bahwa ruang lingkup lafaz mutlaq itu lebih
kecil daripada lafaz ‘am karena lafaz mutlaq termasuk lafaz khash, sedangkan
ruang lingkup lafaz khash itu lebih sempit dari lafaz ‘am.[1]
2.
Muqayyad
Adapun
lafaz muqayyad adalah lafaz yang diberi qayid dan mengiringi lafaz muthlaq. Sehingga ruang lingkup
penggunaan lafaz yang tadinya luas menjadi terbatas.
Pada
dasarnya bila terdapat dua dalil, yang satu dalam bentuk muthlaq seperti
“mahasiswa IAIN akan dapat beasiswa dari pemerintah” dan yang satu lagi dalam
bentuk muqayyad, seperti “mahasiswa yang berprestasi akan mendapat beasiswa
dari pemeritah.” Dengan adanya dalil yang maqayyad itu, maka lafaz “mahasiswa”
dalam dalil yang mutlaq itu harus diartikan mahasiswa yang berprestasi. Itulah
yang dimaksud dengan menjelaskan atau membatasi pengertian dalil yang mutlaq
itu. Diantara ulama ushul fiqh ada yang menyebutkan penjelasan itu dengan
istilah taqyid. Ada pula yang menyebutnya: “memahami mutlaq itu sebagaimana
yang terdapat pada muqayyad. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa taqyid itu
menjalankan fungsi yang sama dengan tahshish. Oleh karena itu fungsinyayang
membatasi itu, maka ada pula yang menyebut taqyiditu dengan nasakh.
Bila
satu hukum ditetapkan melalui dalil yang muthlaq, maka hukum itu berlaku secara
kemutlakannya dan bila suatu hukum dijelaskan melalui dalil yang muqayyad, maka
hukum itu berlaku berdasarkan ke-muqayyad-annya.
Tentang bila suatu hukum diatur oleh dua dalil yang satu dalam bentuk muthlaq
dan yang satunya lagi dalam bentuk muqayyad apakah dalil yang muqayyad
men-taqyid dalil yang mutlaq atau dalam arti sejauh mana lafaz muqayyad
men-taqyid lafaz muthlaq tergantung pada pola hubungan lafaz muqayyad itu
dengan lafaz muthlaq, menjadi perbincangan dikalangan ulama ushul fiqh.[2]
B.
Mengartikan
Muthlaq
dan Muqayyad
Jika
dalam tasyri’ terdapat mutlak dan muqayyad maka hal itu ada beberapa macam :
Pertama : sama dalam hukum
dan sebabnya. Seperti firman Allah swt, dalam khaffarah sumpah :
(`yJsù öN©9 ôÅgs ãP$uÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$r&
Artinya : ” maka
barang siapa yang tidak mendapatkan budak hendaklah ia berpuasa tiga hari .”(Qs.Al-Baqarah:196)
Ini hukumnya ialah dengan pengertian yang
mutlak dengan yang muqayyad dengan arti
bahwa yang dimaksud dengan yang muqayyad dengan arti bahwa yang di
maksud dengan mutlak ialah muqayyad secara pasti (harus),karena sebab yang satu
tidak menyebabkan dua hal yang bertentangan dalamsatu waktu dan sebabnya di
sini telah bersatu: ia adalah sumpah dengan syarat dosa dan hukumanya ialah
puasa, maka muqayyad wajib menjelaskan maksud dari mutlak,bukan
membatalkanya,karna ia menyertainya. Dan apabila tidak terjadi muqaranah
(kebersamaan), maka pemahamanya wajib dengan jalan naskh bukan penjelasan, ini
adalah pendapat Abu Hanifah.
Pendapat
ini disanggah bahwa (riwayat)bacaan mutlak itu mutawatir dan ia adalah
pasti,sedang (riwayat) bacaan muqayyad adalah ganjil dan oia tidak lebih dari
khabar aahaad. Maka bagaimanakah khabar aahaad yang zhanni mengikat muthlaknya
Al-kitab yang qath’I padahal merekamensyaratkanya dalam pengertian jika tidak
terdapat muqaranah maka muqayyadnya menjadi qath’i, karena tambahan atas
qath’itidak terjadi dengan khabar zhanni sedang dalam kedua macam pengertian
itu terdapat tambahan atas nash? Mereka telah terpaksa dalam mengartlkan di
waktu beristidlal atas pemotongan tangan kanan dalam pencurian yang pertama
kali dengan bacaan ibnu mas’ud :
Artinya : “maka
potonglah tangan-tangan kanan mereka keduanya.”
Mereka
bersandar pada ijma’ bahwa ia adalah qath’i.
Yang jelas bahwa
mengartikan dengan cara ini hanya
terjadi
jika kedua dalil menjadi sama ; baik qath’i
maupun zhanni.
Kedua : sebabnya berbeda
, seperti dalam kaffarah zhihar dan pembunuhan.
Allah Swt. Telah
berfirman mengenai kaffarah yang pertama (zhahir).
ÌóstGsù 7pt7s%u `ÏiB È@ö6s% br& $¢!$yJtFt 4 ÇÌÈ
Artinya: maka hendaklah
ia membebaskan seorang budak sebelum keduanya bercampur.”(Qs.al-mujaadilah:3)
Dan mengenai
kaffarah yang kedua (pembunuhan)
7poYÏB÷sB7pt7s%uãÌóstGsù
Artinya:“Maka hendaklah
ia membebaskan seorang budak yang mukmin.”(Qs.An-Nisaa:92)
Sebabnya berbeda yaitu dalam ayat
pertama keinginan kembali sesudah zhahir dan dalam ayat yang kedua pembunuhan
secara tidak sengaja. Dalam segini tidaklah mutlak diartikan sebagai muqayyad
menurut ulama hanafi,akan tetapi diamalkan secara mutlak pada tempatnya dan
muqayyad pada tempatnya . maka wajiblah dalam kaffarah pembunuhan melepaskan
budak mukmin dan dalam kaffarah zhihar membebaskan budak secara mutlak ,baik
mukmin maupun kafir .
Inilah yang jelas karena tidak ada
alasan untuk mengartikan mutlak sebagai muqayyad. Dan tidak dikatakan bahwa
nash diartikan dengan jalan qiyas disebabkan tidak adanya salah satu syarat,
yaitu ketiadaan penentangan nash yang lain.
Ketiga:
hukumannya berbeda seperti perkataan seseorang kepada bawahannya: “belilah
seorang budak dan lepaskan seorang budak mukmin.” Dalam segi ini, tidaklah
mutlak diartikan sebagai muqayyad berdasar kesepakatan, kecuali jika ada
kebutuhan mendesak. Seperti perkataan seseorang: “bebaskan seorang budak dan
jangan memiliki kecuali seorang budak mukmin.”
Nash yang kedua
melarang pemilikan budak yang bukan mukmin dan yang pertama mewajibkan
pembebasan seorang budak, maka
ditetapkan bahwa maksudnya adalah budak mukmin karena kesanggupan mentaati.
Keempat
: pemutlakan dan pengikatankarna sebab itu sendiri.
Seperti dalam hadist ibnu umar bahwa
Rasulullah Saw. Mewajibkan zakat fitrah dalam bulan ramadhan atas umat
manusia satu sha’ (2,5kg) kurma atau
satu sha’ gandum atas setiap orang merdeka atau budak laki laki dan perempuan
dari orang-orang muslim. Disamping
riwayat yang lain: Rasulullah saw. Mewajibkan jakat fitrah satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas
budak atau orang merdeka, kecil atau besar.
Disitu tidak ada ikatan dari kaum muslimin.[3]
Dalam segi ini ulama hanafi berkata
“tidak ada pengertian mutlak atas muqayyad, maka diamalkan dengan masing masing
nash sehingga setiap jiwa merupakan sebab dalam kewajiban jakat fitrah. Dan
tidak dikatakan; bahwa mereka dengna demikian telah menolak ikatan yang ada
dalam riwayat lain, bahwa mereka mengamalkanya . akan tetapi mereka tidak
termasuk orang-orang yang berhujjah dengan mafhum, tidaklah terdapat
pertentangan menurut mereka, maka mereka
tidak perlu mengartikan mutlak atas muqayyad. Menurut mereka, masing-masing
dari mutlak dan muqayyad adalah sebab dalam kewajiban zakat.
C.
Kaidah-Kaidah
yang Berkaitan dengan Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq
adala suatu lafal yang menunjukkan satuan yang tidak dibatasi oleh suatu
batasan yang mengurangi seluruh jangkauannya.(Ahmad Muhammad
asy-Syafi’i,1983:321).
Sedang
muqayyad adalah lafal yang menunjukkan satuan-satuan yang dibatasi oleh batasan yang mengurangi keseluruhan
jangkauannya.(Ahmad Muhammad asy-Syafi’i,1983:321).[4]
Kaidah-kaidah
yang berkaitan dengan muthlaq dan muqayyad adalah sebagai berikut:
1.
Hukum
Muthlaq
Lafal
muthlaq dapat digunakan sesuai dengan kemutlakannya.
Kaidahnya:
“Muthlaq
itu ditetapkan menurut kemutlakannya selama belum ada bukti yan membatasinya.”
.(Ahmad Muhammad asy-Syafi’i,1983:322).
Misalnya
ayat yang menyebutkan Wa ummahatu
nisaaikum (dan ibu-ibu dari istri-istrimu) dalam Qs.an-Nissa:23, maka ayat
itu tetap dipegangi kemutlakannya, yaitu ibu mertua tidak boleh dikawini, baik
istrinya sudah dicampuri atau belum.
2.
Hukum
Muqayyad
lafal
muqayyad tetap dikatakan muqayyad sebelum ada bukti yang memutlakannya.
Kaidahnya:
“Muqayyad
itu ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang menyatakan
kemutlakannya”. .(Ahmad Muhammad asy-Syafi’i,1983:232).
Misalnya
kaffarat dhihar (menyamakan istri dengan ibunya) yakni memerdekakan budak atau
puasa2 bulan berturut-turut.(Qs.al-Mujadalah:3-4),ayat tersebut sudah dibatasi
ketentuannya dan tidak boleh ditawar lagi ketentuan atau batasan itu.
3.
Hukum
Muthlaq yang sudah dibatasi
Lafal
muthlaq jika telah ditentukan batasannya maka ia menjadi muqayyad, kaidahnya: “Lafal
muthlaq tidak boleh dinyatakan muthlaq karena ada batasan yang telah
membatasinya”. .(Ahmad Muhammad asy-Syafi’i,1983:323).
Misalnya
ketentuan Wasiat dalam Qs, an-Nissa:11 masih bersifat muthlaq tanpa ada batasan
berapa jumlah yang dikeluarkannya, kemudian ayat tersebut dibatasi ketentuannya
dengan sepertiga dari harta yang ada. (HR. Saad ibnu Abi Waqas)
4.
Hukum
Muqayyad yang dihapuskan Batasannya
Lafal
muqayyad jika dihadapkan dengan dalil lain yang menghapus kemuqayyadannya maka
ia menjadi muthlaq. Kaidahnya:”Muqayyad tidak tetap diyatakan kemuqayyadannya
karena ada dalil yang menunjukkan kemuthlaqannya. .(Ahmad Muhammad
asy-Syafi’i,1983:324).
Misalnya
keharaman menikahi anak tiri karena anak tiri itu dalampemeliharaan dan ibunya
sudah dicampuri, keharaman nikah dengan anak tiri sudah dibatasi dengan 2 hal
diatas, namun batasan kedua tetap dipandang batasan yang muqayyad sedang
batasan kedua hanya sekedar pengikut saja, karena anak tiri lazimnya mengikuti
ibu atau ayah tirinya, bilamana ayah tiri belum mencmpuri ibunya maka anak tiri
boleh dinikahi. Karena itu batasan pertama menjadi muthlaq kembali.(Qs.
An-Nissa:23)
5.
Variasi
Ketentuan Muthlaq dan Muqayyad
Banyak
dalil syara’ ditemukan dimana di tempat satu itu ia menunjukkan kemuthlakannya
sedan di tempat lain ia menunjukkan kemuqayyadannya. Permasalahan yang muncul
apakah muqayyad diikutkan muthlaq, ataukah muthlaq diikutkan muqayyad atauka
masing-masing berdiri sendiri. Permasalahan itu paling tidak ada ada empat
alternatif pemecahan yaitu:
a) Hukum
dan sebabnya sama, maka yang muthlaq dibawa ke muqayyad. Kaidahnya:
“Muthaq itu dibawa ke
muqayyad jika sebab dan hukumannya sama”. (Ahmad Abdul Hakim,1983:81).
Misalnya
Allah mengharamkan darah bagi orang-orang mukmin ( Qs. Al-maidah:3),
selanjutnya keharaman makan darah itu dibatasi dengan darah mengalir
(QS.al-an’am:145) karena sebab dan hukumannya sama maka selain darah yang
mengalir diperbolehkannya, misalnya hati, ataupun limpa.
b) Berbeda
sebabnya namun sama hukumny, bagi jumhur syafi’iyah menyatakan muthlaq dibawa
pada muqayyad. Kaidahnya :”Muthlaq itu dibawa ke muqayyad jika sebabnya
berbeda”. .(Ahmad Ahmad Abdul Hakim,1983:81).
Misalnya
kifarat membunuh dengan tidak sengaja berupa memerdekakan budak yang mukmi(QS,
an-Nissa:92) selanjutny kifarat dhihar memerdekakan budak tanpa dibatasi mukmin
tau tidak (QS, al-Mujadalah:3),menurut kaidah diatas maka yang dimaksud
memerdekakan budak bagi kifarat dhihar adalah budak yang mukmin, karena kafarat
itu muthlaq, sifat yang harus diikutkan pada muqayyad yakni budak yang mukmin.
Bagi golongan Hanafiyah dan Mlikiyahmayoritas menetapkan hukum masing-masing
muqayyad dan muthlaq pada posisinya tidak dibawakan satu sama lain.
c) Berbeda
hukum namun sama sebabnya, maka muthlaq dibawa ke muqayyad. Kaidahnya:”Muthlaq
itu tidak dibawa ke muqayyad jika yang berbeda hanya hukumnya.” (Ahmad Ahmad
Abdul Hakim,1983:82).
Misalnya
hukum wudhu dan tayamum, pada wudhu tangan wajib dibasuh sampai mata siku(QS.
Al-Maidah:6). Sedang pada tayamum tidak dijelaskan ampai siku (QS an-Nissa:43).
Kali ini sebabnya sama yakni bersuci tetapi hukumannya berbeda yaitu membasuh
tangan pada wudhu sampai mata siku, dan menyapu tangan pada tayamum, jadi masing-masing
pada tempatya.[5]
d) Berbeda
sebab dan hukumnya, maka muthlaq tidak dibawa ke muqayyad, masing-masing
berdiri sendiri. Kaidahnya:”Muthlaq tidak dibaw ke muqayyad jika sebab dan
hukumnya yang berbeda”.(Ahmad Ahmad Abdul Hakim,1983:82).
Misalnya
hukum potong tangan Aidiyahuma
pencuri dari laki-laki dan dari perempuan (QS,al-Maidah:38), selanjutnya
kewajiban wudhu ketika akan shalat yakni salah satunya membasuh tangan sampai
siku-siku Wa aidikum ilal Marofiqi
maka lafadz potong tangan itu muthlaq sedang membasuh tangan sampai siku-siku
itu muqayyad. Karena sebab dan hukumnya berbed maka masing –masing ditempatkan
pada posisinya.[6]
D.
Hal-hal
yang Diperselisihkan dalam Muthlaq
dan Muqayyad
a. Kemutlaqan
dan kemuqayyadan terdapat pada sebab
hukum. Namun, masalah (maudu’) dan hukumnya sama. Menurut Jumhur ulama dari
kalangan Syafi’iyah, Makiyah dan Hanafiyah, dalam masalah ini wajib
membawa mutlaq kepada muqayyad.
Oleh sebabitu,
mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama
Hanafiyah tidak mewajibkan membawa lafazh mutlaq pada muqayyad. Oleh sebab itu,
ulama Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
b. Mutlaq
dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya tidak boleh
membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan
sifatnya. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah, pada Kafarat Zihar tidak
mensyaratkan hambanya mukmin. Sebaliknya, menurut Jumhur ulama, harus membawa
mutlaq pada muqayyad secara mutlaq. Namun, menurut sebagian ulamaSyafi’iyah,
mutlaq dibawa pada muqayyad apabila ada illat hukum yang sama, yakni dengan
jalan qiyas. (Al-Amidi, 1968 :11 : 112)
E.
Alasan
Masing-MasingGolongan
1.
Alasan
Hanafiyah
Merupakan suatu
prinsip bahwa kita melaksanakan dalalah lafazh atas semua hukum yang dibawa
saja, sesuai dengan sifatnya, sehingga lafazh mutlaq tetap pada kemutlakannya
dan lafazh muqayyad tetap pada kemuqayyadannya. Tiap-tiap nash merupakan hujjah
yang berdiri sendiri. Pembatasan terhadap keluasan makna yang terkandung pa da
mutlaq tanpa dalil dari lafazh itu sendiri berarti mempersempit yang bukan dari
perintah syara’. Berdasarkan pada ini, lafazh mutlaq tidak bisa dibawa pad
amuqayyad, kecuali apabila terjadi saling menafikan antara dua hukum, yakni
sekiranya mengamalkan salahsatunya membawa pada tanaqud (salingbertentangan).
(Al-Bazdawy, 1307, 11 : 290)
2.
Alasan
Jumhur
Al-Quran itu merupakan kesatuan hukum yang utuh dan
antara satu ayat dengan ayat yang lainnya berkaitan, sehingga apabila ada suatu
kata pada Al-Quran yang menjelaskan hukum berarti hukum itu sama pada setiap
tempat yang terdapat kata itu. (Asy-Syafi’i). alasan kedua muqayyad itu harus
menjadi dasar untuk menafikan dan menjelaskan maksud lafaz hmutlaq. Sebab
mutlaq itu kedudukannya bisa dikaitkan sebagai orang diam, yang tidak menyebut
qayyid. Disiniiatidakmenunjukkanadanyaqayyiddantidak pula menolaknya, sedangkan
muqayyid sebagai orang yang berbicara, yang menjelaskan adanya taqyid ketika
adanya dan menolaknya apabila tidak adanya. Sehingga kedudukannya sebagai
penafsir.Oleh sebabitu, ia lebih baik dijadikan sebagai dasar untuk menjelaskan
maksud mutlaq. (Al-Amidi, 1968, II : 112).[7]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dengan
membandingkan definisi-definisi tersebut jelaslah bahwa mutlaq adalah lafaz
yang mencakup pada jenisnya tetapi tidak mencakup seluruh afrad didalamnya. Di sinilah di antara letak perbedaan lafaz mutlaq
dengan lafaz ‘am, meskipun terdapat
istilah “meliputi afrad-nya”.
Dari
segi cakupannya, juga dapat dikatakan bahwa mutlaq itu sama dengan nakirah
(umum) yang disertai oleh tanda-tanda keumuman suatu lafaz, termasuk jama’ nakirah yang belum diberi qayid (ikatan).
Adapun
lafaz muqayyad adalah lafaz yang diberi qayid dan mengiringi lafaz muthlaq. Sehingga ruang lingkup
penggunaan lafaz yang tadinya luas menjadi terbatas.
Kaidah-kaidah yang berkaitan dengan Muthlaq dan
Muqayyad
1) Hukum
muthlaq
2) Hukum
muqayyad
3) Hukum
muthlaq yang sudah dibatasi
4) Hukum
muqayyad yang dihapus batasannya
5) Variasi
ketentuan muthlaq dan muqayyad
B.
SARAN
Sebagai
manusia yang tidak lepas dari berbagai kekurangan kami sadar makalah ini sangat
jauh dari kesempurnaan, untuk itu mohon bantuan serta kritik dan sarannya agar bisa lebih baik lagi
dalam membuat makalah di waktu yang selanjutnya. Untuk kritik dan sarannya saya
ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
- Abu zahrah, Muhammad Prof. Ushul fiqh. Jakarta. Pustaka firdaus 2014
- al -khudhari biek , syaikh muhammad .Ushul fikih . djakarta .pustaka amani .tahun 2007 .
- Anwar, Syahrul,M.ag.Dr. Ilmu Fiqh dan ushul Fiqh .Bogor. Ghalia Indonesia.September 2010.
- syafe’I, Rachmat MA Prof. DR,. Ilmuushulfiqih. Bandung. Pustakasetia. 2010.
- Syarifuddin ,Amir Prof.Dr.H. Ushul fiqh2,Jakarta, Kencana Prenada media .
- Usman,Muchlis,MA Drs.H., Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.Jakarta PT raja Grafindo setia.
[1]Prof. Dr.
H. Amir Syarifuddin, UshulFiqh 2 (Jakarta:
KencanaPrenada Media,2008), hlm.128-130.
[4]Dr.Syahrul
Anwar,M.ag. Ilmu Fiqh dan ushul Fiqh .Bogor.
Ghalia Indonesia.September 2010.hlm 25-26
[5] Syaikh
muhammad al -khudhari biek ,.Ushul fikih . djakarta
.pustaka amani .tahun 2007 hlm 27- 28
[6]
Drs.H Usman Muchlis,MA.,
Kaidah-kaidah ushuliyah dan fiqhiyah.Jakarta
PT Raja Grafindo setia. Hlm 96-98
0 Komentar
Masukkan Komentar Anda