BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Belakangan
ini, dalam segala aspek yang berhubungan dengan pemerintahan, reformasi
birokrasi menjadi isu yang sangat kuat untuk direalisasikan. Terlebih
lagi,birokrasi pemerintah Indonesia telah memberikan sumbangsih yang sangat
besar terhadap kondisi keterpurukan bangsa Indonesia dalam krisis multidimensi
yang berkepanjangan. Birokrasi yang telah dibangun oleh pemerintah sebelum era
reformasi telah membangun budaya birokrasi yang kental dengan korupsi, kolusi,
dan nepotisme (KKN).
Akan
tetapi, pemerintahan pasca reformasi pun tidak menjamin keberlangsungan
reformasi birokrasi terealisasi dengan baik. Kurangnya komitmen pemerintah
pasca reformasi terhadap reformasi birokrasi ini cenderung berbanding lurus dengan
kurangnya komitmen pemerintah terhadap pemberantasan KKN yang sudah menjadi
penyakit akut dalam birokrasi pemerintahan Indonesia selama ini. Sebagian
masyarakat memberikan cap negatif terhadap komitmen pemerintah pascareformasi
terhadap reformasi birokrasi. Ironisnya, sebagian masyarakat Indonesia saat
ini, justru merindukan pemerintahan Orde Baru yang dinggap dapat memberikan
kemapanan kepada masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Yang menjadi rumusan makalah ini adalah
1.
Bagaimana sejarah reformasi
birokrasi di Indonesia ?
2.
Bagaimana pengertian reformasi
birokrasi ?
3.
Apa saja tujuan dari reformasi
birokrasi ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Reformasi
Birokrasi di Indonesia
Reformasi
Birokrasi pertama kali dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah pada era pemerintahan Soekarno, tepatnya pada tahun 1962, yaitu dengan
dibentuknya Panitia Retooling Aparatur
Negara. Panitia ini dibebani tugas untuk mengoptimalisasikan fungsi
birokrasi dalam penyediaan pelayanan publik. Upaya tersebut kandas sebab
intervensi politik pada saat itu terlalu mengooptimasi dalam birokrasi sehingga
bias peran birokarasi semakin mengemuka.
Selanjutnya,
pada era pemerintahan Soeharto, tepatnya tahun 1966 melalui Keputusan Presidium
Kabinet Ampera Nomor 75, dibentuk tim Penertiban Aparatur dan Administrasi
Pemerintahan atau yang dikenal dengan tim PAAP. Dilanjutkan kemudian pada tahun
1974 melalui kabinet Pembanguna I dengan dibentuknya Kementerian Penyempurnaan
dan Pembersihan Aparatur Negara (Menpan) yang membidangi secara khusus
pembenahan administrasi dan birokrasi di Indonesia.
Pada
masa Orde Baru, birokrasi di Indonesia berfaliasi dengan partai Golkar dan
militer. Sebagian kalangan menybutnya dengan istilah ABG (ABRI, Birokrasi, dan
Golkar). Ketiga serangkai tersebut menjelma menjadi kekuatan sosial politik yang
sulit ditandingi di republik ini pada masa tersebut.[1]
B. Pengertian
Reformasi Birokrasi
Reformasi
adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah
ada. Reformasi ini diarahkan pada perubahan masyarakat yang termasuk didalamnya
masyarakat birokrasi, dalam pengertian perubahan ke arah kemajuan. Dalam
pengertian ini perubahan masyarakat diarahkan pada development. Development
adalah perkembangan yang tertuju pada kemajuan keadaan dan hidup anggota
masyarakat, dimana kemajuan kehidupan ini akhirnya juga dinikmati oleh
masyarakat. Dengan demikian maka perubahan masyarakat dijadikan sebagai
peningkatan martabat manusia, sehingga hakekatnya perubahan masyarakat berkait
erat dengan kemajuan masyarakat. Dilihat dari aspek perkembangan masyarakat
tersebut maka terjadilah keseimbangan antara tuntutan ekonomi, politik, sosial
dan hukum, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta konsensus antara
prinsip-prinsip dalam masyarakat.[2]
Birokrasi yang dalam bahasa Inggris, bureaucracy, berasal dari kata bureau (meja) dan cratein (kekuasaan), dimaksudkan adalah kekuasaan berada pada orang-orang
yang di belakang meja.
Menurut Bintoto Tjokroamidjojo (1984), birokrasi
“dimaksudkan untuk mengorganisasikan secara teratur suatu pekerjaan yang harus
dilakukan oleh banyak orang”.[3]
Birokrasi adalah suatu sistem dari suatu
organisasi yang kompleks, yang memerlukan penanganan khusus dalam berbagai
keterampilan teknis yang dipergunakan untuk melaksanakan kebijakan yang
ditentukan oleh pihak lain, terutama kegiatan-kegiatan yang sesuai dengan
usaha-usaha besar.[4]
Reformasi
birokrasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai good governance. Melihat pengalaman
sejumlah Negara menunjukan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah awal
untuk mencapai kemajuan sebuah Negara. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan
penataan terhadap system penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif
dan efesien tapi juga reformasi birokrasi menjadi tulang punggung dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi birokrasi memang akan diterapkan
dijajaran kementerian dan lembaga pemerintah. Mereformasi birokrasi kementerian
dan lembaga memang sudah saatnya dilakukan sesuai dengan tuntutan situasi dan
kondisi saat ini. Dimana birokrasi dituntut untuk dapat melayani masyarakat
secara cepat, tepat dan profesional. Birokrasi merupakan faktor penentu dalam mencapai
tujuan pembangunan nasional.
C.
Pokok-pokok Reformasi
Birokrasi Pemerintahan
Reformasi
Birokrasi harus dimulai dari penataan kelembagaan dan sumberdaya manusia
aparatur. Langkah selanjutnya adalah membuat mekanisme, pengaturan, sistem, dan
prosedur yang sederhana tidak berbelit-belit, menegakkan akuntabilitas
aparatur, meningkatkan dan menciptakan pengawasan yang komprehensif, dan
meningkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang berkualitas
dan prima. Reformasi birokrasi perlu diprioritaskan pada unit-unit kerja
pelayanan publik seperti imigrasi, bea-cukai, pajak, pertanahan, kepolisian,
kejaksaan, pemerintahan daerah dan pada institusi atau instansi pemerintah yang
rawan KKN, seperti pemerintah pusat/daerah, kepolisian, kejaksaan, legislatif,
yudikatif, dan departemen dengan anggaran besar seperti departemen pendidikan,
departemen agama, dan departemen pekerjaan umum.
Pokok-pokok
Pikiran Tentang Reformasi Birokrasi Aparatur Negara dapat digambarkan sebagai
berikut:
1.
Penataan Kelembagaan atau
Orgnisasi.
2.
Sumber Daya Manusia (SDM)
Aparatur.
3.
Tata Laksana atau Manajemen.
4.
Akuntabilitas Kinerja Aparatur
5.
Pengawasan
6.
Pelayanan Publik.
7.
Budaya Kerja Produktif, Efisien
dan Efektif.
8.
Koordinasi, Integrasi, dan
Sinkronisasi
9.
Best Practices (mengamati contoh keberhasilan beberapa
pemerintah daerah).
D.
Langkah-langkah untuk Memajukan Reformasi Birokrasi
Mengikuti pemikiran Berger (1994) dalam manajemen perubahan (change
management), maka hal pertama yang harus dilakukan dalam rangka reformasi
birokrasi adalah mengenali apa yang disebut sebagai pemicu perubahan (change
trigger). Change management perlu diterapkan dan diimplementasikan di dunia
birokrasi pemerintah atau public
governance. Oleh karena itu, hal ini harus dikawal dengan pengendalian
tanpa kompromiatau toleransi. Artinya pelaksanaannya harus sesuai dengan target
dan sasaran yang telah diputuskan , serta diiringi dengan jaminan dan kendali
mutu yang ketat.
Change management atas birokrasi pemerintahan yang implementasinya
minimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.
Menghentikan pendarahan,
maksudnya adalah tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan dan
mengakibatkan kehancuran sistem kerja birokrasi semakin parah. Ini ibarat
pendarahan yang jika tidak disumbat akan semakin menggrogoti kesehatan badan.
2.
Batas waktu pelaksanaan change
management secara serius, serempak, dan direalisasikan tanpa kompromi atau
toleransi.
Perlu ada batas waktu untuk memulai secara
serius dan dengan persiapan mendalam. Ini mencakup batasan mulai kapan kita telah
siap dengan segala perangkatnya. Demikian juga ukuran dan sanksi apa yang harus
diterapkan, ketika pejabat atau birokrat kita tidak mampu berbuat dan
berprestasi sesuai dengan ukuran minimalnya. Untuk itu, perlu ada semacam
kontrak kerja sebagai ganti kontrak politik untuk jabatan politik.
3.
Jabatan eselon satu dan eselon
dua harus dipegang oleh leader-manager yaitu birokrat atau pejabat yang memahami, menghayati, dan
mempraktikkan management leadership (kepemimpinan manajemen).
Salah satu kelemahan birokrasi yang
tergolong serius adalah bahwa banyak pejabat kurang menguasai manajemen dan
kepemimpinan. Banyak yang bekerja hanya sekedar mengalir sampai ke jabatan yang
lebih tinggi, bahkan ke puncak birokrasi, yaitu eselon satu. Oleh karena itu,
salah satu hal yang dimasukkan dalam program reformasi birokrasi ini adalah
pembenahan pejabat eselon satu dan eselon dua.[5]
4. Benchmarking ke beberapa Negara untuk merumuskan detail management.
Melakukan
benchmarking ke birokrasi
pemerintahan negara lain, terutama yang menurut penilaian lembaga internasional
memiliki good public governance,
sangatlah penting. Kegiatan ini seharsnya tidak hanya dijadikan ajang
jalan-jalan para pejabat. Mereka harus serius menjalankannya seperti biasa
dilakukan oleh sejumlah perusahaan ternama. Kegiatan ini sekaligus dapat
dipergunakan sebagai awal untuk menentukan standar kinerja, indicator
keberhasilan, serta target dan tuntutan yang harus dikerjakan oleh birokrat
kita, terutama untuk melakukan change
management.
5. Terwujudnya standar kinerja dan indicator keberhasilan yang konkret,
jelas, dapat dipraktikkan, dan dapat diukur dengan mekanisme pengendalian yang
efektif, efesien, dan tepat sasaran sehingga pengendalian mutuakan terjamin.
6. Mendayagunakan lembaga pengawasan untuk menjalankan peran kendali
mutu dan membentuk lembaga yang menjalankan peran penjaminan mutu agar dapat
sampai pada target yang telah ditetapkan dengan standar yang ada.
7. Pengawasan mencakup evaluasi mendasar terhadap rencana kerja
departemen/lembaga non-departemen secara ketat.
8. Peningkatan gaji PNS secara signifikan.
Yang
tidak kalah penting dalam transformasi
birokrasi adalah sistem remunerasi PNS, termasuk para pejabatnya. Hal ini juga
erat sekali kaitannya dengan kebijakan dan komitmen pemberantasan KKN. Gaji PNS
harus dinaikkan secara signifikan, bukan kenaikkan berkala seperti yang terjadi
selama ini yang hanya menutup inflasi. Perbaikan renumerasi ini merupakan
reformasi mendasar yang harus dilakukan oleh pemerintah dan DPR untuk
memperbaiki kinerja birokrasi kita.
9. Restrukturasi PNS.
Evaluasi
mendasar terhadap kinerja PNS hampir mirip dengan rekrutmen ulang. Namun
sebelum dilakukan rekrutmen ulang, PNS harus diberi waktu untuk memperbaiki
diri. Ketika standar kinerja dan indicator keberhasilannya sudah jelas, harus
jelas pula tuntutan kinerjanya.
10. Perubahan system pendidikan dan latihan.
Sistem
pendidikan dan latihan harus diperbaiki, direformasi secara mendasar. Diklat
PNS, mulai untuk pra jabatan, tenaga administrasi, sampai untuk pimpinan selama
ini selalu didominasi oleh aktifitas formal dan seremonial. Materi dan metode
hampir selalu sama, seolah menjadi doktrin yang sulit diubah, padahal dunia dan
tuntuta terhadap kinerja birokrasi selalu berubah, terlebih setelah era
reformasi.[6]
E.
Tujuan Reformasi Birokrasi
Gerakan
reformasi yang digulirkan oleh berbagai kekuatan dalam masyarakat, yang
dipelopori oleh mahasiswa pada tahun 1998, bertujuan untuk memperbaiki kondisi
bangsa yang terpuruk akibat krisis ekonomi yang berlarut-larut. Gerakan
reformasi diharapkan dapat memberikan pengaruh bagi penyelesaian berbagai
persoalan bangsa selama masa pemerintahan orde baru berkuasa, seperti
kasus-kasus korupsi, nepotisme, dan kolusi. Berbagai kasus yang menyangkut
penyalahgunaan kekuasaan dan jabatan yang dilakukan oleh elite-elite politik
dan birokrasi orde baru diyakini merupakan salah satu faktor penyebab yang
memperparah krisis ekonomi di Indonesia.
Publik
mengharapkan bahwa dengan terjadinya reformasi birokrasi, akan diikuti pula
perubahan besar pada kehidupan bermasyarakat, berbangasa, dan bernegara, baik
yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi, maupun kultural.
Perubahan struktur, kultur, dan paradigma birokrasi dalam berhadapan dengan
masyarakat menjadi begitu mendesak untuk segera dilakukan mengingat birokrasi
mempunyai kontribusi yang besar terhadap terjadinya krisis multidimensional
yang tengah terjadi sampai saat ini.
Reformasi
birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik
diarahkan untuk menciptakan kinerja birokrasi yang professional dan akuntabel.
Birokrasi dalam melakukan berbagai kegiatan perbaikan pelayanan diharapkan
lebih berorientasi pada kepuasan pelanggan, yakni masyarakat pengguna jasa.
Kepuasan total dan masyarakat pengguna jasa tersebut dapat dicapai apabila
birokrasi pelayanan menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa dalam
pemberian layanan. Perubahan paradigma pelayanan public tersebut diarahkan pada
perwujudan kualitas pelayanan prima kepada public, melalui instrument pelayanan
yang memiliki orientasi pelayanan lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.
Namun
demikian, reformasi bukan hanya sebuah proses perubahan. Reformasi adalah
proses perubahan yang terencana dalam kerangka demokratisasi dan terbentuknya civil society. Indikator reformasi
birokrasi antara lain adalah terwujudnya efisiensi, efektivitas, akuntabilitas,
partisipasi, transparansi, dan rule of law dalam birokrasi. Dalam pemaknaan
reformasi tersebut, maka reformasi birokrasi mendapatkan momentumnya
berbarengan dengan lengsernya Soeharto dari kursi kepresidenan pada tahun 1998.
Proses reformasi birokrasi kemudian terus bergulir, dan dikuatkan dengan
berbagai kebijakan, antara lain: penetapan TAP MPR RI No. X/MPR/1998 tentang
Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan nasional sebagai Haluan Negara, amandemen UUD 1945, penetapan UU No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No. 5 Tahun
1974, dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah. Dalam kaitannya dengan upaya menciptakan birokrasi yang
bersih, telah ditetapkan pula beberapa kebijakan penting seperti TAP MPR RI No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Kolusi, Korupsi
dan Nepotisme, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih
dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme, dan Inpres No. 7 Tahun 1999
tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Beberapa kebijakan pemerintah
telah ditetapkan dalam kerangka reformasi birokrasi.
Pada
dasarnya secara umum yang menjadi tujuan reformasi birokrasi adalah agar
terciptanya good governance, yaitu
tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa:
1.
Memperbaiki kinerja birokrasi
agar lebih efektif dan efisien.
2.
Terciptanya birokrasi yang
profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas
dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi
masyarakat dan abdi Negara.
3.
Pemerintah yang bersih (clean government).
4.
Bebas KKN (kolusi, korupsi, dan
nepotisme).
5.
Meningkatkan kualitas pelayanan
terhadap masyarakat.[7]
F.
Penjelasan
UU No 28 Tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dari KKN.
Dalam UU No 28 tahun 1999 menjelaskan ketentuan
asas-asas umum pemerintahan yang baik, berikut asas-asasnya:
1.
Asas Kepastian Hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan
perundang-undangan, kepatuhan, dan keadilan dalam setiap kebijakan
penyelenggaraan negara.
2.
Asas Tertib Penyelenggaraan
Negara, yaitu menjadi landasan keteraturan,
keserasian, keseimbangan dalam pengabdian penyelenggaraan negara.
3.
Asas Kepentingan umum, yaitu asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang
aspiratif, akomodatif, dan kolektif.
4.
Asas Keterbukaan, yaitu asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperolah informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi
pribadi, golongan, dan rahasia negara.
5.
Asas Proporsoionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban
Penyelenggara Negara.
6.
Asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan
kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7.
Asas
Akuntabilitas, yaitu asas yang
menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan
negera harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[8]
G.
Contoh Kasus Reformasi Birokrasi dalam Pencegahan Korupsi
Reformasi Birokrasi Dalam Pencegahan Korupsi
Di
Indonesia, masalah birokrasi telah mulai ada sejak zaman kolonial, orde lama,
hingga orde baru. Hingga saat ini permasalahan birokrasi seperti budaya KKN
yang dianggap wajar, pelayanan publik buruk, rendahnya sumber daya aparatur,
mental birokrat yang feodal dan paternalistik kepada penguasa (monoloyalitas)
tidak bisa lepas dari dampak rezim politik Soeharto yang menginginkan
kekuasannya status quo (AIPI, 2012).
Permasalahan
birokrasi Indonesia mulai diperbaiki melalui program reformasi birokrasi yang
merupakan tuntutan reformasi pascakrisis ekonomi tahun 1997. Bappenas (2004)
menegaskan bahwa reformasi bidang lainnya tidak akan berjalan dengan baik tanpa
terlebih dahulu mereformasi birokrasi pemerintah. Reformasi birokrasi bertujuan
agar birokrasi mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih efisien dan
efektif sehingga bisa terwujud clean government dan good governance.[9]
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan
Reformasi
Birokrasi pertama kali dilaksanakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah pada era pemerintahan Soekarno, tepatnya pada tahun 1962, yaitu dengan
dibentuknya Panitia Retooling Aparatur
Negara. Panitia ini dibebani tugas untuk mengoptimalisasikan fungsi
birokrasi dalam penyediaan pelayanan publik. Upaya tersebut kandas sebab
intervensi politik pada saat itu terlalu mengooptimasi dalam birokrasi sehingga
bias peran birokarasi semakin mengemuka.
Reformasi
adalah mengubah atau membuat sesuatu menjadi lebih baik daripada yang sudah
ada. Sedangkan birokrasi yang dalam
bahasa Inggris, bureaucracy, berasal
dari kata bureau (meja) dan cratein (kekuasaan), dimaksudkan adalah
kekuasaan berada pada orang-orang yang di belakang meja.
Jadi, secara sederhana reformasi birokrasi merupakan salah satu upaya
pemerintah untuk mencapai good governance.
Beberapa tujuan reformasi birokrasi secara umum sebagai berikut:
1.
Memperbaiki kinerja birokrasi
agar lebih efektif dan efisien.
2.
Terciptanya birokrasi yang
profesional, netral, terbuka, demokratis, mandiri, serta memiliki integritas
dan kompetensi dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya selaku abdi
masyarakat dan abdi Negara.
3.
Pemerintah yang bersih (clean government).
4.
Bebas KKN (kolusi, korupsi, dan
nepotisme).
5.
Meningkatkan kualitas pelayanan
terhadap masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
Anggara Sahya. 2013. Sistem
Politik Indonesia. Bandung.
Benveniste, Guy. 1997. Birokrasi. Jakarta.
Qodri azizy, abdul. 2007. Change management dalam
reformasi birokrasi. Jakarta
Rosidin Utang. 2010. Otonomi
Daerah dan Desentralisasi. Bandung.
Sumber lain:
Gudangnyailmu.com
[1] Utang Rosidin, Otonomi Daerah
dan Desentralisasi, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hlm 162-163.
[2] http://makalahme02.blogspot.com/2013/05/contoh-makalah-reformasi-birokrasi-di.html
[3] Sahya Anggara, Sistem Politik
Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2013, hlm 248-249.
[4] Utang Rosidin, Otonomi Daerah
dan Desentralisasi, Bandung, Pustaka Setia, 2010, hlm 164.
[5] Azizy, A. Qodri. Change
Management dalam Reformasi Birokrasi. 2007, Jakarta: PT:
Gramedia Pustaka Utama, Hlm 94
[7]
http://nefi34na.blogspot.com/2013/04/makalah-reformasi-birokrasi-birokrasi.html
[10] Azizy, A. Qodri. Change
Management dalam Reformasi Birokrasi. 2007, Jakarta: PT:
Gramedia Pustaka Utama, Hlm 94
1 Komentar
titanium nipples jewelry - tombola - TITA
BalasHapusTITA - tombola. titanium exhaust tips Visit tombola nano titanium ionic straightening iron in our website to learn how to order jewelry. Learn titanium aftershokz more about jewelry sugarboo extra long digital titanium styler and titanium hip how to order jewelry
Masukkan Komentar Anda