Rols

6/recent/ticker-posts

Advertisement

Responsive Advertisement

Transformasi Hukum Islam kedalam UU Perkawinan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
Keluarga merupakan lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara. Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.[1]
Keluarga merupakan lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis, individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga semakin menipis.[2]
Untuk memelihara dan melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga.[3]
Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Sejarah Lahirnya UU No. 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan?
2.      Bagaimana Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam?
3.      Bagaimana Asas-asas Hukum Perkawninan dalam kompilasi hukum islam?
4.      Bagaimana Proses Politik Penyusunan UU Perkawinan?
5.      Bagaiman Substansi Hukum Islam dalam UU Peradilan Agama?
6.      Bagaimana Transformasi Hukum Islam kedalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?






















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sejarah Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia sampai akhirnya terbentuklah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun tahapan-tahapan sejarah itu sebagai berikut:
1.      Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing.Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i . Kemudian pada abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian timur Indonesia berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain. Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i.[4]
2.      Masa Penjajahan
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[5] Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal 22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.[6]Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
3.      Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[7]
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.[8]
4.      Masa Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,kemudian mereka merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.Kemudian hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[9]
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam. Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial (1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971 mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972  menyarankan agar supaya PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22 Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal 11 Februari 1973.[10]
Akhirnya, setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal 31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73 (tujuh puluh tiga) pasal.RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama, memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang sesuai dengan tuntutan zaman.
Keterangan Pemerintah tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang dianut.
Menurut Hasan Kamal, setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam (fiqih munakahat), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan (9).[11]
Kemudian pada tanggal 17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada tanggal 27 September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan tersebut.
Secara bersamaan, untuk memecahkan kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan antara lain:
a.         Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak akan dikurangi atau ditambah.
b.        Sebagai konsekuensi dari poin pertama itu, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah, tegasnya UU No. 22 tahun 1946 dan Undang-undang No. 14 tahun 1970 dijamin kelangsungannya.
c.         Hal-hal yang bertentangan dengan agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan Undang-undang ini, dihilangkan (didrop).
d.        Pasal 2 ayat (1) dari rancangan Undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut:
·           Ayat (1) : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
·           Ayat (2): tiap-tiap perkawinan wajib dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.         Mengenai perceraian dan poligami diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya kesewenang-wenangan.[12]
Adapun hasil akhir undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[13] Sedang rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.

2.2  Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang menyangkut KHI ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu secara khusus bagaimana pengertian kompilasi itu sendiri. Istilah “kompilasi” diambil dari perkataan “compilare” yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi adalah tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.[14]
Yang menjadi tolak ukur sejarah lahirnya KHI yaitu pada saat Setelah Indonesia merdeka, pada saat itu ditetapkanlah 13 kitab fikih diantaranya:
1.      Al-Umm
2.      Fathul Mu’in.
3.      I’anah.
4.      Iqna.
5.      Bajuri.
6.      Qurratul Uyyun
7.      Minhaj at-Taalibin oleh Imam an-Nawawi
8.      Al-Majmu ‘Syarh al-Muhazzab
9.      Al-Muhazzab oleh Syekh Abu Ishaq Ibrahim bin Ali Yusuf bin Abdullah al-Fairuzabdi asy-Syirazi (w.476H/1083M).
10.  Nihayah al-Matlab fi Dirayah al-Mazhab oleh Abu al-Ma’al al-Juwaini.
11.  Nihayah al-Muhtaj ila Syarh Alfaz al-Minhaj oleh Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad ar-Ramli (w. 1004 H).
12.  Ad-Durar al-Manzumah fi al-Aqdiyah wa al-Hukumat
13.  Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khatib oleh Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi (w. 1221 H/ 1086M).
 Sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang telah ditetapkan 13  kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.        Untuk berlakunya hukum Islam di Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.        Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.        Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983 dikodifikasikan di Subang.[15]
Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1 Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam. Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[16]

2.3 Asas-asas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
Semua asas-asas hukum perkawinan yang telah disebutkan,diadopsi oleh KHI. Sebagai satu asas yang terpenting dalam perkawinan menurut islam,asa kesukarelaan diadopsi dan dapat dilihat dalam pasal 16 KHI Buku I tentang Perkawinan:
1.      Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
2.      Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Dalam Pasal 17 ayat 1 dan 2 memperkuat adanya asas kesukarelaan ini,yang menyebutkan:
1.      Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
2.      Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.[17]
3.      Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.
Bab V UU No.1 tahun 1974 hanya mengatur perjanjian perkawinan secara umum. Ketentuan itu dianggap kurang memadai sesuai ketentuan semangat zaman dan perkembangan emansipasi yang telah mengatarkan pola hidup perkawinan dalam persamaan derajat dalam batas-batas kodrat alamiah. Juga sehubungan dengan telah dilembagakan kedudukan harta bersama dalam perkawinan,KHI menganggap perlu untuk menjabarkan lebih lanjut aturan perjanjian perkawinan: bentuk taklik talak,perjanjian lain asal tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Perjanjian perkawinan yang lain meliputi permasalahan:
1.      Hal yang menyangkut kedudukan harta bersama dalam perkawinan.
2.      Tentang perjajian perkawinan dalam poligami:mengenai tempat kediaman,waktu giliran dan biaya rumah tangga.
Jika diperhatikan dengan seksama,materi pasal-pasal dalam Bab XII secara tersirat dan tersurat telah dilenturkan makna ar-rijal qawwamun ala an-nisa.:
·         Terwujudnya tujuan cita-cita sakinah,mawadah,rahmah menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama(pasal 77 ayat 3)
·         Penghapusan dikriminasi kategoris atas pemeliharaan dan pendidikan anak-anak dengan asas tanggung jawab bersama (pasal 77 ayat 3).
·         Penghapusan diskriminasi normatif dalam pelaksanaan hak dan kewajiban berdasar atas persamaan.
·         Menyeimbangkan harkat derajat suami isteri secara fungsional berdasar atas kodrat dasar alamiah dan biologis dalam acuan.
Asas-asas perkawinan yang lain adalah:
1.      Persetujuan
2.      Kebebasan memilih
3.      Kemitraan suami-isteri
4.      Untuk selama-lamanya
5.      Monogami terbuka (Karena Darurat)
6.      Kesukarelaan

2.4 Proses Politik Penyusunan UU Perkawinan
Setelah Indonesia Merdeka,usaha mendapatkan UU tetap diupayakan. Pada akhir tahun 1950 dengan surat penetapan Menteri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1 Oktober 1950. Dibentuk panitia penyelidik peraturan dan hukum perkawinan,talak rujuk yang diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan,tetapi panitia ini tidak dapat bekerja semestinya karena banyak hambatan dan tantangan dalam melaksanakan tugasnya.karena panitia tersebut dianggap tidak dapat bekerja secara efektif,setelah mengalami beberapa perubahan,pada tanggal 1 april 1961 dibentuk sebuah panitia yang diketuai oleh Mr.Noer Persoetjipto. Kemudian,pada tahun ini Musywarah kesejahteraan Keluarga dan Konferensi BP4 pusat tahun 1962 berturut-turut setiap tahun hingga tahun 1973,serta seminar hukum oleh PERSAHI pada tahun 1963,mendesak kepada pemerintah untuk membahas kembali UU Perkawinan yang sudah lama diajukan kepada DPR RI. Selanjutnya dalam ketetapan Nomor XXVII tahun 1966,MPRS pun menghendaki pemerintah untuk segera mengesahkan UU Perkawinan.
Pada tanggal 29 Januari 1972,Ikatan Sejuta Wanita Indonesia (ISWI) mendesak pengurusnya untuk memperjuangkan kembali keberlakuan UU Perkawinan kepada seluruh warga Negara Indonesia. Pada tanggal 11 Februari 1973,HMI membicarakan kembali Hukum Perkawinan Umat Islam di Indonesia dalam acara sarasehan yang dielenggarkan di Jakarta dan menharapkan agar pemerintah segera mengajukan kembali RUU kepada DPR RI untu dibahas kembali dan dilaksanakan sebagai UU yang diberlakukan unutk seluruh warga negara Indonesia. Kemudian,pada tanggal 22 Februari,Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia juga mendesak pemerintah,agar dibahas kembali oleh DPR RI.[18]
Selanjutnya,dalam Amanat Presiden RI tanggal 31 Juli 1973 Nomor R.02/PU./VII/1973,pemerintah menyampaikan UU Perkawinan yang terdiri dari VI BAB dan 73 pasal kepada Pimpinan DPR RI. Keterangan Pemerintah tentang RUU Perkawinan ini disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973. RUU ini memunculkan reaksi dari masyrakat sehubungan dengan adanya beberapa pasal dalam RUU tentang Perkawinan yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia yang Religius dan bertentangan dengan norma Agama yang dianut.
Pemandangan umum atas RUU tentang Perkawinan ini diberikan oleh wakil-wakil fraksi pada tanggal 17-18 September 1973. Kemudian,jawaban pemerintah diberikan oleh Menteri Agama RI pada tanggal 02 September 1973,yang isinya mengajak semua pihak,terutama anggota DPR RI untuk mencari jalan keluar terhadap beberapa persoalan hukum yang terdapat dalam RUU tentang Perkawinan. Diluar sidang diadakan pendekataan (lobbying).antara Fraksi-fraksi dan Pemerintah. Lalu,Fraksi ABRI dan Fraksi PPP mencapai suatu konsensus sebagai berikut:
1.        Hukum Islam yang berhubungan dengan masalah Perkawinan tidak akan dikurangi atau diubah.
2.        Sebagai konsekuensi dari point pertama itu,hal-hal yang telah ada dalam UU Nomor 22 tahun 1964 dan UU Nomor 14 tahun 1970 tetap dijamin kelangsungannya dan tidak akan diadakan perubahan.
3.        Hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan UU Perkawinan yang dibahas di DPR RI itu akan dihilangkan.
     Setelah mengalami perubahan atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja,RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan pada sidang paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi UU. Dalam Sidang Paripurna DPR RI tersebut,semua Fraksi mengemukakan pendapatnya. Demikian juga,pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman memberikan kata Akhirnya. Pada hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR RI setelah dibahas selama lebih kurang 3 bulan. Pada tanggal 2 Januari 1974 diUndangkan sebagai UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974 tambahan LN Nomor 3019/1974.
·         UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama Dan UU No.50 tahun 2009
·         UU No. 38 tahun 1991 tentang Pengolahan Zakat.[19]
2.5 Substansi Hukum Islam dalam UU No.50 tahun 2009 Peradilan Agama
Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Perkembangan peradilan Agama di Indonesia masa kemerdekaan, khususnya pada masa Orde Baru, sangat berarti ketika diundangkan dan diberlakukannya UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 Tahun 1974 dan mencapai puncaknya ketika UU No. 7 Tahun 1989 diundangkan dan diberlakukan. UU No. 14 Tahun 1970 memberikan tempat kepada peradilan agama sebagai salah satu peradilan negara dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman. UU No. 1 Tahun 1974 memperbesar kekuasaan peradilan agama khususnya dibidang perkawinan. Sedangkan UU No. 7 Tahun 1989 memperkokoh kedudukan peradilan agama.
Namun demikian, selama berlakunya UU No. 7 tahun 1989 dalam konsep pemberlakuannya belum mencapai sempurna. Terdapat beberapa kendala yang mempengaruhi kekuasaan peradilan agama. Kendala-kendala tersebut antara lain: Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989 angka 2  Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989 dan Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977. Kendala-kendala tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan dan kewenangan peradilan agama masih belum independen, yakni berada dibawah bayang-bayang pengadilan Negeri.
UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Pertama dan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama lahir dari adanya tuntutan sosial ditengah maraknya pasar transaksi berdasarkan praktik ekonomi syari’ah dan didorong pula oleh adanya Kebijakan Perbankan Oktober (Pakto) taggal 27 Oktober 1988, yang berisi liberalisasi perbankan guna membuka peluang bisnis seluas-luasnya untuk memobilisasi dana masyarakat dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan, juga dengan adanya keyakinan dikalangan umat Islam yang tidak menghendaki bunga bank yang telah diharamkan oleh MUI rejak tanggal 16 Desember 2003. Sedangkan hukum yang harus diterapkan dalam sengketa ekonomi syari’ah ini harus pula berdasarkan syari’ah (hukum) Islam. Disinilah fungsi hukum untuk menyesuaikan diri dengan kecepatan perubahan masyarakat (yang mengharamkan bunga bank) yang dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memberi arah untuk perubahan. Maka UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 inilah sebagai jawaban atas desakan masyarakat untuk menemukan payung hukum apabila terjadi sengketa ekonomi syari’ah.
  Perkembangan paling signifikan kewenangan peradilan agama dapat kita lihat dalam Pasal 49 yang berbunyi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.”
Pada huruf (i) pasal tersebut merupakan penambahan wewenang peradilan agama dalam mengurusi segala perkara mengenai ekonomi syari’ah. Inilah perkembangan paling baru dari kewenangan peradilan agama sejak diundangkannya UU No. 3 tahun 2006.



2.6 Transformasi Hukum Islam Kedalam UU Perkawinan dan Kompilasi  Hukum  Islam
Transformasi Hukum Islam kedalam UU Perkawinan dan Kompilasi HukumIslam (KHI) diantaranya adalah sebagai berikut:
1.        Tujuan Perkawinan
·         Menurut UU No.1/1974 yaitu:
Pasal 1: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.
·         Menurut Kompilasi Hukum Islam yaitu:
Pasal 3:“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.”
·         Kedua pasal tersebut terdapat didalam Al-qur’an surat Ar-Rum ayat 21 yaitu:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١ 

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Kalimat/kata Sakinah(tentram),Mawadah dan rohmah (kasih dan sayang),yang tercantum didalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 dan Kompilasi Hukum Islam pasal 3 semuanya terkadung didalam Al-qur’an surat Ar-Rum ayat 21.
2.        Syarat dan Rukun Perkawinan
·         Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 14:“ Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a)      Calon Suami;
b)      Calon Isteri;
c)      Wali nikah;
d)     Dua orang saksi dan;
e)      Ijab dan Kabul.”
·         Syarat dan Rukun perkawinan terdapat dalam Al-Hadits yaitu:
لا نكاح إلا بولي وشأ هدي عدل وما كان من نكاح على غير ذلك فهو باطل فان نشأ حوأ فالسلطأ ن ولي من لا ولي له       
Yang Artinya :
“Tidak sah nikah(akad nikah),kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil,dan apabila pernikahan tanpa adanya syarat tersebur,hukumnya batal,maka apabila seeorang yang menjadi walinya itu tidak mau mengatakan kehendaknya,maka hakimlah yang menjadi walinya,bagi yang tidak ada walinya(HR.Ibnu Hibban dari ‘Aisyah)”.
     Dalam Hadits tersebut menyebutkan bahwa tidak sah Nikah tanpa Akad atau
Ijab qobul,wali,dan 2 orang saksi.
3.        Tentang Wali Nikah yaitu: wali Nikah Nasab dan Hakim
·         Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pasal 20 ayat 1 dan 2:
(1)   Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
(2)   Wali nikah terdiri dari :
a)      Wali nasab
b)     Wali hakim.
·         Hal ini terdapat dalam Al-Hadis yaitu:
لا تنكح المراة إلا بأ ذ ن وليها أو ذى الرأي من أهلها أوالسلطأ ن (الحديث) 
Artinya : Wanita tidak boleh menikah kecuali dengan izin walinya,atau orang cerdik dari kalangan keluarganya atau penguasa.

فالسطأن ولي من لا ولي له
Artinya: Maka Hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya. (HR.Ahmad,Abu Dawud,Ibnu Majah dan Nasa’i).
Dari kedua hadits tersebut menyatakan bahwa seseorang bisa menjadi wali untuk perempuan yang akan menikah yaitu bisa berupa wali Nasab dan Wali Hakim sesuai apa yang tertera didalam Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat 1 dan 2 dan Kompilasi Hukum Islam.
4.        Tentang Waktu Iddah seoarng perempuan
·         Dalam Kompilasi Hukum Islam
Pasal 153: Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
·         Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 288:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨ 

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa seorang perempuan(janda) harus menunggu masa iddah nya yaitu selama 3 kali quru’ ada yang menyebutkan bahwa selama 3 kali haid atau bersuci kurang lebih selama 90 hari sesuai dengan pasal 153 Kompilasi Hukum Islam.





















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1.      Sejarah Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia sampai akhirnya terbentuklah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun tahapan-tahapan sejarah itu sebagai berikut:
·         Masa Kerajaan Islam di Indonesia
·         Masa Penjajahan
·         Masa Awal Kemerdekaan
·         Masa Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
2.      Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang menyangkut KHI ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu secara khusus bagaimana pengertian kompilasi itu sendiri. Istilah “kompilasi” diambil dari perkataan “compilare”yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi adalah tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.
3.      Asas-asas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam
·         Persetujuan
·         Kebebasan memilih
·         Kemitraan suami-isteri
·         Untuk selama-lamanya
·         Monogami terbuka (Karena Darurat)
·         Kesukarelaan
4.      Proses Politik Penyusunan UU Perkawinan
Setelah mengalami perubahan atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja,RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan pada sidang paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi UU. Dalam Sidang Paripurna DPR RI tersebut,semua Fraksi mengemukakan pendapatnya. Demikian juga,pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman memberikan kata Akhirnya. Pada hari itu juga RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR RI setelah dibahas selama lebih kurang 3 bulan. Pada tanggal 2 Januari 1974 diUndangkan sebagai UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974 tambahan LN Nomor 3019/1974.UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan UU No.50 tahun 2009 tentang peradilan Agama
5.      Substansi Hukum Islam dalam UU Peradilan Agama
6.      Transformasi Hukum Islam Kedalam UU Perkawinan dan Kompilasi  Hukum  Islam
·         Berkenaan dengan Tujuan Perkawinan: yaitu terdapat dalam UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 dan KHI pasal 3 yang mengatakan tujuan perkawinan adalah membentuk Keluarga yang Sakinah,Mawadah dan Warohmah sesuai dengan Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21.
·         Syarat dan Rukun Perkawinan : terdapat dalam KHI pasal 14 yaitu syarat dan rukun perkawinan adalah adanya kedua mempelai,wali,2 orang saksi,ijab qobul dan mahar. Hal ini terkandung dalam HR.Ibnu Hibban dari ‘Aisyah r.a.
·         Wali Nikah = Nasab dan Hakim: dalam KHI pasal 20 ayat 1 dan 2 menyebutkan bahwa wali nikah bagi perempuan yang mau nikah ada 2 yaitu wali nikah nasab(keluarga) atau Wali Hakim.terdapat dalam 2 hadits yang berbeda yaitu: HR.Al-Hadis dan HR.Ahmad,Abu Dawud,Ibnu Majah dan Nasa’i.
·         Masa Iddah Perempuan(Janda):Dalam KHI pasal 153 menyebutkan bahwa masa Iddah Perempuan yang ditalak suaminya adalah selama 3 kali suci (90) hari hal ini terkandung dalam QS.Al-Baqarah ayat 228.
3.2  Penutup
Perlu diketahui bahwa lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam di Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa kemerdekaan hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak terlepas dari berbagai pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang lain tetapi kehadirannya mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan sehinggaperlu adanya berbagai perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan undang-undang tersebut maka menjelmalah sebuah undang-undang yakni Undang-Undang Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dan dalam pembahasan diatas secara singkat telah dibahas tentang apa dan bagaimana Kompilasi Hukum Islam dan keberadaannya di Indonesia. Kompilasi adalah merupakan sebuah kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam kompilasi, kita sudah menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah yang sudah dianggap terbaik. Pendapat tersebut telah kita kukuhkan sebagai pendapat resmi, sebutlah sebagai Hukum Islam Indonesia. Penetapannya dilakukan melalui suatu kesepakatan, karenanya bagaimanapun harus kita terima sebagai hasil karya bangsa Indonesia.







DAPTAR PUSTAKA

Abdurrahman, kompilasi hukum Islam di Indoesia,Jakarta : Akademia Pressindo, 2010.
Cansil, C.S.T.,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,,Jakarta: Balai Pustaka,1989.
Ija Suntana,Politik Hukum Islam,Bandung: CV.Pustaka Setia,2014.
Ihromi, T.O.,Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor Indonesia,1999.
Manan,Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I,Jakarta:Kencana, 2006.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarata:Prenada Media, 2004.
Poesponegoro, Mawarti Djoned dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984.
Prawirohamidjojo,R.Soetedjo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia,Surabaya:Universitas Airlangga Press, 1988.
Raharjo,Sajtipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979.
Soekanto,Soerjono, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak,Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Sosroatmodjo, Arso Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,Jakarta:Bulan Bintang.
Suwondo,Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat,Jakarta: Ghalia Indonesia.




[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, Jakarta: Rineka Cipta, 1990, hal. 22-23.
[2] T.O.Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 284-301.
[3] Sajtipto Raharjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979, hal. 146-147.

[4] Mawarti Djoned Poesponegoro dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984, hal. 197.
[5] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang , 1975, hal. 11.
[6] Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992, hal. 77.
[7] Nani Suwondo
[8] R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988, hal. 18.
[9] Arso Sosroatmojo dan A. Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 9
[10] Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 4

[11] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarata : Prenada Media, 2004), hlm 24.
[12] ibid, hal. 25
[13] C.S.T. Cansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VIII (Jakarta : Balai Pustaka, 1989), hlm. 222
[14] Abdurrahman,  kompilasi hukum Islam di Indoesia, (Jakarta : Akademia Pressindo, 2010), hlm 12
[15] Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, op.cit, hlm 30.
[16] Ibid, hlm. 35

[17] Tim Redaksi Nuansa Aulia,Kompilasi Hukum Islam,Nuansa Aulia,Bandung,hal 6
[18] Ija Suntana,Politik Hukum Islam,CV Pustaka Setia,Bandung,2014,hlm.251-253.
[19] Ibid.,hlm.253-254.

Posting Komentar

0 Komentar

Perbedaan KCU dan KCP