BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Keluarga merupakan
lembaga sosial bersifat universal, terdapat di semua lapisan dan kelompok
masyarakat di dunia. Keluarga adalah miniatur masyarakat, bangsa dan negara.
Keluarga terbentuk melalui perkawinan, ikatan antara kedua orang berlainan
jenis dengan tujuan membentuk keluarga. Ikatan suami istri yang didasari niat
ibadah diharapkan tumbuh berkembang menjadi keluarga (rumah tangga) bahagia
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan dapat menjadi masyarakat yang
beriman, bertakwa, berilmu pengetahuan, teknologi dan berwawasan nusantara.[1]
Keluarga merupakan
lembaga sosial yang paling berat diterpa oleh arus globalisasi dan kehidupan
modern. Dalam era globalisasi, kehidupan masyarakat cenderung materialistis,
individualistis, kontrol sosial semakin lemah, hubungan suami istri semakin
merenggang, hubungan anak dengan orang tua bergeser, kesakralan keluarga
semakin menipis.[2]
Untuk memelihara dan
melindungi serta meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga tersebut
disusunlah undang-undang yang mengatur perkawinan dan keluarga.[3]
Keinginan ini sudah
muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya
sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis
tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya
Undang-Undang No: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
1.2 Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana Sejarah Lahirnya UU No. 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan?
2.
Bagaimana Sejarah Lahirnya Kompilasi
Hukum Islam?
3.
Bagaimana
Asas-asas Hukum Perkawninan dalam kompilasi hukum islam?
4.
Bagaimana Proses Politik Penyusunan UU Perkawinan?
5. Bagaiman Substansi Hukum Islam dalam UU Peradilan Agama?
6.
Bagaimana
Transformasi Hukum Islam kedalam UU Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam?
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang
perkawinan telah mengalami rentetan sejarah yang cukup panjang dimulai sejak
masuknya islam ke Indonesia sampai akhirnya terbentuklah UU No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, adapun tahapan-tahapan sejarah itu sebagai berikut:
1.
Masa Kerajaan Islam di Indonesia
Hukum Islam sebagai hukum yang bersifat mandiri
telah menjadi satu kenyataan yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Bahwa
kerajaan-kerajaan Islam yang berdiri di Indonesia telah melaksanakan Hukum
Islam dalam kekuasaannya masing-masing.Pada abad ke 13 M, Kerajaan Samudra
Pasei di Aceh Utara menganut hukum Islam Mazhab Syafi’i . Kemudian pada
abad ke 15 dan 16 M di pantai utara Jawa, terdapat Kerajaan Islam, seperti
Kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. Fungsi memelihara agama
ditugaskan kepada penghulu dengan para pegawainya yang bertugas melayani
kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk
dalam hukum keluarga/perkawinan. Sementara itu, di bagian timur Indonesia
berdiri pula kerajaan-kerajaan Islam seperti Gowa, Ternate, Bima dan lain-lain.
Masyarakat Islam di wilayah tersebut diperkirakan juga menganut hukum Islam
Mazhab Syafi’i.[4]
2.
Masa Penjajahan
Pada masa kedatangan Verenigde Oost Indische
Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada
di masyarakat sehingga pada saat itu diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC. Pada
masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang
disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[5]
Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah
Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa). Ketika pemerintahan VOC
berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum
Islam.
Pada Konggres Perempuan Indonesia I pada tanggal
22-25 Desember 1928 di Yokyakarta mengusulkan kepada Pemerintah Belanda agar
segera disusun undang-undang perkawinan, namun mengalami hambatan dan
mengganggu kekompakan dalam mengusir penjajah.
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia
Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat
(onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya
sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar
karena salah satu pihak meninggal atau menghilang selama dua tahun serta
perceraian yang diputuskan oleh hakim.[6]Menurut
rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang
Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun
rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi
ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
3.
Masa Awal Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha
melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan
UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat
beragama Islam. Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi
Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah
(PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun
1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang
belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami,
mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami
terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa
idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[7]
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam
Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan
menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama
membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk.
Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan
pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan,
sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi
tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di
Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963
bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya
perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan
adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta
merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.[8]
4.
Masa Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami
rentetan sejarah yang cukup panjang. Bermula dari kesadaran kaum perempuan
Islam akan hak-haknya yang merasa dikebiri oleh dominasi pemahaman fikih klasik
atau konvensional yang telah mendapat pengakuan hukum,kemudian mereka
merefleksikan hal tersebut dalam pertemuan-pertemuan yang kelak menjadi embrio
lahirnya Undang-Undang Perkawinan. Arso Sosroatmojo mencatat bahwa pada rentang
waktu 1928 kongres perempuan Indonesia telah mengadakan forum yang membahas
tentang keburukan-keburukan yang terjadi dalam perkawinan di kalangan umat Islam.Kemudian
hal tersebut juga pernah dibicarakan pada dewan rakyat (volksraad).[9]
Kemudian pada akhir tahun 1950 dengan surat
keputusan Menteri Agama No. B/2/4299 tertanggal 1 Oktober 1950 dibentuklan
Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat
Islam. Sementara itu berbagai organisasi terus menerus mendesak kepada
Pemerintah dan DPR agar supaya secepat mungkin merampungkan penggarapan
mengenai Rancangan Undang-undang (RUU) yang masuk
DPR. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Musyawarah Pekerja Sosial
(1960), Musyawarah Kesejahteraan Keluarga (1960), Konperensi Badan Penasihat
Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4) Pusat dan Seminar Hukum oleh
Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI, 1963).
Umat Islam waktu itu mendesak DPR agar secepatnya
mengundangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan bagi umat Islam, namun usaha
tersebut menurut Arso Sosroatmodjo tidak berhasil. Kemudian setelah usaha umat
Islam untuk memperjuangkan RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam
tersebut tidak berhasil, kemudian DPR hasil pemilihan umum tahun 1971
mengembalikan RUU tersebut ke pemerintah.Segala upaya telah dikerahkan untuk menghasilkan
undang-undang perkawinan yang sesuai untuk umat Islam. Arso mencatat bahwa pada
rentang waktu tahun 1972/1973 berbagai organisasi gabungan terus memperjuangkan
lahirnya undang-undang tersebut.
Simposium Ikatan
Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) pada tanggal 1972 menyarankan agar supaya
PP ISWI memperjuangkan tentang Undang-Undang Perkawinan. Kemudian Badan
Musyawarah Organisasi-Organisasi Wanita Islam Indonesia pada tanggal 22
Februari 1972 salah satunya menghasilkan keputusan untuk mendesak pemerintah
agar mengajukan kembali RUU tentang Pokok-Pokok Perkawinan Umat Islam dan RUU
tentang Ketentuan Pokok-Pokok Perkawinan. Selanjutnya organisasi Mahasiswa
yang ikut ambil bagian dalam perjuangan RUU Perkawinan Umat Islam yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang telah mengadakan diskusi panel pada tanggal
11 Februari 1973.[10]
Akhirnya,
setelah bekerja keras, pemerintah dapat menyiapkan sebuah RUU baru, dan tanggal
31 Juli 1973 dengan No. R. 02/PU/VII/1973, pemerintah menyampaikan RUU tentang
Perkawinan yang baru kepada DPR, yang terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 73
(tujuh puluh tiga) pasal.RUU inimempunyaitigatujuan. Pertama,
memberikan kepastian hukum bagi masalah-masalah perkawinan, sebab sebelum
adanya undang-undang, perkawinan hanya bersifat judge made
law. Kedua, untuk melindungi hak-hak kaum wanita, dan sekaligus memenuhi
keinginan dan harapan kaum wanita. Ketiga, menciptakan Undang-undang yang
sesuai dengan tuntutan zaman.
Keterangan Pemerintah
tentang Rancangan Undang-undang tersebut disampaikan oleh Menteri Kehakiman
pada tanggal 30 Agustus 1973. Pemandangan umum serta keterangan Pemerintah
diberikan oleh wakil-wakil Fraksi pada tanggal 17 dan 18 September 1973, yakni
dari Fraksi ABRI, Karya Pembangunan, PDI dan Persatuan Pembangunan. Di samping
itu, banyak masyarakat yang menyampaikan saran dan usul kepada DPR. Usul
tersebut disampaikan berdasarkan adanya anggapan bahwa ada beberapa pasal dalam
RUU tentang perkawinan yang diajukan ke DPR RI itu tidak sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia yang agamis dan bertentangan dengan norma agama yang
dianut.
Menurut Hasan Kamal,
setidaknya tedapat 11 pasal yang bertentangan dengan ajaran Islam
(fiqih munakahat), yaitu Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat
(1), Pasal 8 huruf c, Pasal 10 ayat (2), Pasal 11 ayat (2), Pasal 12, Pasal 13
ayat (1) dan (2), Pasal 37, Pasal 46 ayat (c) dan (d), Pasal 62 ayat (2) dan
(9).[11]
Kemudian pada tanggal
17-18 September diadakan forum pandangan umum oleh wakil-wakil fraksi atas RUU
tentang Perkawinan. Jawaban dari pemerintah diberikan Menteri Agama pada
tanggal 27 September 1973. Pada intinya pemerintah mengajak DPR untuk
secara bersama bisa memecahkan kebuntuan terkait dengan RUU Perkawinan
tersebut.
Secara bersamaan, untuk memecahkan
kebuntuan antara pemerintah dan DPR diadakan lobi-lobi antara fraksi-fraksi
dengan pemerintah. Antara fraksi ABRI dan Fraksi PPP dicapai suatu kesepakatan
antara lain:
a.
Hukum agama Islam dalam perkawinan tidak
akan dikurangi atau ditambah.
b.
Sebagai konsekuensi dari poin pertama
itu, maka alat-alat pelaksanaannya tidak akan dikurangi atau dirubah,
tegasnya UU No. 22 tahun 1946 dan Undang-undang No. 14 tahun 1970 dijamin
kelangsungannya.
c.
Hal-hal yang bertentangan dengan agama
Islam dan tidak mungkin disesuaikan dengan Undang-undang ini, dihilangkan
(didrop).
d.
Pasal 2 ayat (1) dari rancangan
Undang-undang ini disetujui untuk dirumuskan sebagai berikut:
·
Ayat (1) : perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu;
·
Ayat (2): tiap-tiap perkawinan wajib
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.
Mengenai perceraian dan poligami
diusahakan perlu ketentuan-ketentuan guna mencegah terjadinya
kesewenang-wenangan.[12]
Adapun hasil akhir
undang-undang perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab
yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal, seperti dicatat sebelumnya.[13] Sedang
rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal.
2.2 Sejarah Lahirnya Kompilasi
Hukum
Islam
Untuk memperoleh
gambaran yang lebih jelas tentang permasalahan yang menyangkut KHI ada baiknya
dijelaskan terlebih dahulu secara khusus bagaimana pengertian kompilasi itu
sendiri. Istilah “kompilasi” diambil dari perkataan “compilare”
yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama, seperti misalnya
mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan dimana-mana.
Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi adalah tidak lain dari
sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau bahan-bahan hukum
tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.[14]
Yang menjadi tolak ukur
sejarah lahirnya KHI yaitu pada saat Setelah Indonesia merdeka, pada saat itu
ditetapkanlah 13 kitab fikih
diantaranya:
1.
Al-Umm
2.
Fathul Mu’in.
3.
I’anah.
4.
Iqna.
5.
Bajuri.
6.
Qurratul Uyyun
7.
Minhaj at-Taalibin oleh Imam an-Nawawi
8.
Al-Majmu ‘Syarh al-Muhazzab
9.
Al-Muhazzab oleh Syekh Abu Ishaq Ibrahim
bin Ali Yusuf bin Abdullah al-Fairuzabdi asy-Syirazi (w.476H/1083M).
10. Nihayah
al-Matlab fi Dirayah al-Mazhab oleh Abu al-Ma’al al-Juwaini.
11. Nihayah
al-Muhtaj ila Syarh Alfaz al-Minhaj oleh Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad
ar-Ramli (w. 1004 H).
12. Ad-Durar
al-Manzumah fi al-Aqdiyah wa al-Hukumat
13. Hasyiyah
al-Bujairimi ‘ala al-Khatib oleh Syekh Sulaiman bin Muhammad al-Bujairimi (w.
1221 H/ 1086M).
Sebagai
referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepala Biro
Pengadilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 februari 1985. Hal ini
dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata
tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fikih yang berbeda-beda.
Akan tetapi penetapan
kitab-kitab fikih tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan
hukum di pengadilan agama. Muncul persoalam krusial yang berkenaan dengan tidak
adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan keputusan hukum terhadap
persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Berbagai hal dan situasi hukum Islam
itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia
untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.
Hal ini disebabkan
tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama. Secara material memang
telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam
memutuskan perkara yang kesemuanya bermazhab Syafi’i. Akan tetapi tetap saja
menimbulkan persoalan yaitu tidak adanya keseragaman keputusan hakim.
Bustanul Arifin adalah
seorang tokoh yang tampil dengan gagasan perlunya membuat Kompilasi Hukum
Indonesia. Gagasan-gagasan ini didasari pada pertimbangan-pertimbangan berikut:
1.
Untuk berlakunya hukum Islam di
Indonesia, harus ada antara lain hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan oleh
aparat penegak hukum maupun oleh masyarakat.
2.
Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah
menyebabkan hal-hal: 1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut
hukum Islam itu (maa anzalallahu), 2. Tidak mendapat kejelasan bagaimana
menjalankan syari’at itu (Tanfiziyah) dan 3. Akibat kepanjangannya adalah tidak
mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-alat yang tersedia dalam Undang-Undang
Dasar 1945 dan perundangan lainya.
3.
Di dalam sejarah Islam, pernah ada tiga
Negara dimana hukum Islam diberlakukan (1). Sebagai perundang-undangan yang
terkenal dalam fatwa Alamfiri, (2). Di kerajaan Turki Ustmani yang terkenal
dengan nama Majallah al-Ahkam Al-Adliyah dan (3). Hukum Islam pada tahun 1983
dikodifikasikan di Subang.[15]
Gagasan Bustanul Arifin
disepakati dan dibentuklah Tim pelaksana Proyek dengan Surat Keputusan Bersama
(SKB) ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No.07/KMA/1985. Dalam Tim
tersebut Bustanul dipercaya menjadi Pemimpin Umum dengan anggota Tim yang
meliputi para pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras
anggota Tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat di dalamnya maka
terumuslah KHI yang ditindaklanjuti dengan keluarnya instruksi presiden No.1
Tahun 1991 kepada menteri Agama untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam
yang terdiri dari buku I tentang Perkawinan, Buku II tentang Kewarisan, Buku
III tentang Perwakafan. Inpres tersebut ditindaklanjuti dengan SK Menteri Agama
No.154 Tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991.
Kemunculan KHI di
Indonesia dapat dicatat sebagai sebuah prestasi besar yang dicapai umat Islam.
Setidaknya dengan adanya KHI itu, maka saat ini di Indonesia tidak akan
ditemukan lagi pluralisme Keputusan Peradilan agama, karena kitab yang
dijadikan rujukan hakim Peradilan Agama adalah sama. Selain itu fikih yang
selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum positif yang
berlaku dan mengikat seluruh umat Islam Indinesia. Lebih penting dari itu, KHI
diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia karena ia
digali dari tradisi-tradisi bangsa indonesia. Jadi tidak akan muncul hambatan
Psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan Hukum Islam.[16]
2.3 Asas-asas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum
Islam
Semua asas-asas hukum perkawinan yang telah disebutkan,diadopsi oleh KHI.
Sebagai satu asas yang terpenting dalam perkawinan menurut islam,asa
kesukarelaan diadopsi dan dapat dilihat dalam pasal 16 KHI Buku I tentang
Perkawinan:
1.
Perkawinan
didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
2.
Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa
pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga
berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Dalam Pasal 17 ayat 1 dan 2 memperkuat adanya asas
kesukarelaan ini,yang menyebutkan:
1.
Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah
menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
2.
Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang
calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.[17]
3.
Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna
rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat
dimengerti.
Bab V UU No.1 tahun 1974 hanya
mengatur perjanjian perkawinan secara umum. Ketentuan itu dianggap kurang
memadai sesuai ketentuan semangat zaman dan perkembangan emansipasi yang telah
mengatarkan pola hidup perkawinan dalam persamaan derajat dalam batas-batas
kodrat alamiah. Juga sehubungan dengan telah dilembagakan kedudukan harta
bersama dalam perkawinan,KHI menganggap perlu untuk menjabarkan lebih lanjut
aturan perjanjian perkawinan: bentuk taklik talak,perjanjian lain asal tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Perjanjian perkawinan yang lain
meliputi permasalahan:
1.
Hal yang menyangkut kedudukan harta bersama dalam
perkawinan.
2.
Tentang perjajian perkawinan dalam poligami:mengenai
tempat kediaman,waktu giliran dan biaya rumah tangga.
Jika diperhatikan dengan
seksama,materi pasal-pasal dalam Bab XII secara tersirat dan tersurat telah
dilenturkan makna ar-rijal qawwamun ala
an-nisa.:
·
Terwujudnya tujuan cita-cita sakinah,mawadah,rahmah
menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama(pasal 77 ayat 3)
·
Penghapusan dikriminasi kategoris atas pemeliharaan dan
pendidikan anak-anak dengan asas tanggung jawab bersama (pasal 77 ayat 3).
·
Penghapusan diskriminasi normatif dalam pelaksanaan hak
dan kewajiban berdasar atas persamaan.
·
Menyeimbangkan harkat derajat suami isteri secara
fungsional berdasar atas kodrat dasar alamiah dan biologis dalam acuan.
Asas-asas
perkawinan yang lain adalah:
1.
Persetujuan
2.
Kebebasan memilih
3.
Kemitraan suami-isteri
4.
Untuk selama-lamanya
5.
Monogami terbuka (Karena Darurat)
6.
Kesukarelaan
2.4 Proses Politik Penyusunan UU Perkawinan
Setelah Indonesia Merdeka,usaha mendapatkan UU tetap diupayakan. Pada akhir
tahun 1950 dengan surat penetapan Menteri Agama RI Nomor B/4299 tanggal 1
Oktober 1950. Dibentuk panitia penyelidik peraturan dan hukum perkawinan,talak
rujuk yang diketuai oleh Mr.Teuku Moh.Hasan,tetapi panitia ini tidak dapat
bekerja semestinya karena banyak hambatan dan tantangan dalam melaksanakan
tugasnya.karena panitia tersebut dianggap tidak dapat bekerja secara
efektif,setelah mengalami beberapa perubahan,pada tanggal 1 april 1961 dibentuk
sebuah panitia yang diketuai oleh Mr.Noer Persoetjipto. Kemudian,pada tahun ini
Musywarah kesejahteraan Keluarga dan Konferensi BP4 pusat tahun 1962
berturut-turut setiap tahun hingga tahun 1973,serta seminar hukum oleh PERSAHI
pada tahun 1963,mendesak kepada pemerintah untuk membahas kembali UU Perkawinan
yang sudah lama diajukan kepada DPR RI. Selanjutnya dalam ketetapan Nomor XXVII
tahun 1966,MPRS pun menghendaki pemerintah untuk segera mengesahkan UU
Perkawinan.
Pada tanggal 29 Januari 1972,Ikatan Sejuta Wanita Indonesia (ISWI) mendesak
pengurusnya untuk memperjuangkan kembali keberlakuan UU Perkawinan kepada
seluruh warga Negara Indonesia. Pada tanggal 11 Februari 1973,HMI membicarakan
kembali Hukum Perkawinan Umat Islam di Indonesia dalam acara sarasehan yang
dielenggarkan di Jakarta dan menharapkan agar pemerintah segera mengajukan
kembali RUU kepada DPR RI untu dibahas kembali dan dilaksanakan sebagai UU yang
diberlakukan unutk seluruh warga negara Indonesia. Kemudian,pada tanggal 22
Februari,Badan Musyawarah Organisasi-organisasi Wanita Islam Indonesia juga
mendesak pemerintah,agar dibahas kembali oleh DPR RI.[18]
Selanjutnya,dalam Amanat Presiden RI tanggal 31 Juli 1973 Nomor
R.02/PU./VII/1973,pemerintah menyampaikan UU Perkawinan yang terdiri dari VI
BAB dan 73 pasal kepada Pimpinan DPR RI. Keterangan Pemerintah tentang RUU
Perkawinan ini disampaikan oleh Menteri Kehakiman pada tanggal 30 Agustus 1973.
RUU ini memunculkan reaksi dari masyrakat sehubungan dengan adanya beberapa
pasal dalam RUU tentang Perkawinan yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia yang Religius dan bertentangan dengan norma Agama yang dianut.
Pemandangan umum atas RUU tentang Perkawinan ini diberikan oleh wakil-wakil
fraksi pada tanggal 17-18 September 1973. Kemudian,jawaban pemerintah diberikan
oleh Menteri Agama RI pada tanggal 02 September 1973,yang isinya mengajak semua
pihak,terutama anggota DPR RI untuk mencari jalan keluar terhadap beberapa
persoalan hukum yang terdapat dalam RUU tentang Perkawinan. Diluar sidang
diadakan pendekataan (lobbying).antara
Fraksi-fraksi dan Pemerintah. Lalu,Fraksi ABRI dan Fraksi PPP mencapai suatu
konsensus sebagai berikut:
1.
Hukum Islam yang berhubungan dengan masalah Perkawinan
tidak akan dikurangi atau diubah.
2.
Sebagai konsekuensi dari point pertama itu,hal-hal yang
telah ada dalam UU Nomor 22 tahun 1964 dan UU Nomor 14 tahun 1970 tetap dijamin
kelangsungannya dan tidak akan diadakan perubahan.
3.
Hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Agama Islam dan
tidak mungkin disesuaikan dengan UU Perkawinan yang dibahas di DPR RI itu akan
dihilangkan.
Setelah mengalami perubahan atas amandemen
yang masuk dalam panitia kerja,RUU tentang perkawinan yang diajukan oleh
pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan pada sidang paripurna
DPR RI untuk disahkan menjadi UU. Dalam Sidang Paripurna DPR RI tersebut,semua
Fraksi mengemukakan pendapatnya. Demikian juga,pemerintah yang diwakili oleh
Menteri Kehakiman memberikan kata Akhirnya. Pada hari itu juga RUU tentang
perkawinan itu disahkan oleh DPR RI setelah dibahas selama lebih kurang 3
bulan. Pada tanggal 2 Januari 1974 diUndangkan sebagai UU Nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974 tambahan LN Nomor 3019/1974.
·
UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama Dan UU No.50 tahun
2009
·
UU No. 38 tahun 1991 tentang Pengolahan Zakat.[19]
2.5 Substansi Hukum Islam dalam UU No.50 tahun 2009
Peradilan Agama
Perubahan UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Perkembangan peradilan Agama di Indonesia
masa kemerdekaan, khususnya pada masa Orde Baru, sangat berarti ketika
diundangkan dan diberlakukannya UU No. 14 Tahun 1970 dan UU No. 1 Tahun 1974
dan mencapai puncaknya ketika UU No. 7 Tahun 1989 diundangkan dan diberlakukan.
UU No. 14 Tahun 1970 memberikan tempat
kepada peradilan agama sebagai salah satu peradilan negara dalam melaksanakan
kekuasaan kehakiman. UU No. 1 Tahun 1974 memperbesar kekuasaan peradilan agama
khususnya dibidang perkawinan. Sedangkan UU No. 7 Tahun 1989 memperkokoh
kedudukan peradilan agama.
Namun demikian, selama berlakunya UU No.
7 tahun 1989 dalam konsep pemberlakuannya belum mencapai sempurna. Terdapat beberapa kendala yang
mempengaruhi kekuasaan peradilan agama. Kendala-kendala tersebut antara lain:
Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989 Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989 angka 2 Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989 dan Pasal 12 PP No. 28 tahun 1977. Kendala-kendala tersebut menunjukkan bahwa kekuasaan
dan kewenangan peradilan agama masih belum independen, yakni berada
dibawah bayang-bayang pengadilan Negeri.
UU No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun
2009 tentang Perubahan Pertama dan Kedua Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama lahir dari adanya tuntutan sosial ditengah maraknya pasar
transaksi berdasarkan praktik ekonomi syari’ah dan didorong pula oleh adanya
Kebijakan Perbankan Oktober (Pakto) taggal 27 Oktober 1988, yang berisi
liberalisasi perbankan guna membuka peluang bisnis seluas-luasnya untuk
memobilisasi dana masyarakat dalam rangka menunjang kegiatan pembangunan, juga
dengan adanya keyakinan dikalangan umat Islam yang tidak menghendaki bunga bank
yang telah diharamkan oleh MUI rejak tanggal 16 Desember 2003. Sedangkan hukum
yang harus diterapkan dalam sengketa ekonomi syari’ah ini harus pula
berdasarkan syari’ah (hukum) Islam. Disinilah fungsi hukum untuk menyesuaikan
diri dengan kecepatan perubahan masyarakat (yang mengharamkan bunga bank) yang
dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memberi arah untuk perubahan. Maka UU
No. 3 Tahun 2006 dan UU No. 50 Tahun 2009 inilah sebagai jawaban atas desakan
masyarakat untuk menemukan payung hukum apabila terjadi sengketa ekonomi
syari’ah.
Perkembangan paling signifikan kewenangan
peradilan agama dapat kita lihat dalam Pasal 49 yang berbunyi:
“Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.”
Pada huruf (i) pasal tersebut merupakan penambahan wewenang peradilan
agama dalam mengurusi segala perkara mengenai ekonomi
syari’ah. Inilah perkembangan paling baru dari kewenangan peradilan agama sejak
diundangkannya UU No. 3 tahun 2006.
2.6 Transformasi
Hukum Islam Kedalam UU Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam
Transformasi Hukum Islam kedalam UU Perkawinan dan Kompilasi HukumIslam
(KHI) diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan Perkawinan
·
Menurut UU No.1/1974 yaitu:
Pasal
1: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan
Yang Maha Esa”.
·
Menurut
Kompilasi Hukum Islam yaitu:
Pasal 3:“Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.”
·
Kedua pasal
tersebut terdapat didalam Al-qur’an surat Ar-Rum ayat 21 yaitu:
وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ ٢١
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berfikir”.
Kalimat/kata Sakinah(tentram),Mawadah dan rohmah (kasih dan sayang),yang
tercantum didalam UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 1 dan Kompilasi
Hukum Islam pasal 3 semuanya terkadung didalam Al-qur’an surat Ar-Rum ayat 21.
2.
Syarat dan
Rukun Perkawinan
·
Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 14:“ Untuk melaksanakan
perkawinan harus ada:
a) Calon Suami;
b) Calon Isteri;
c) Wali nikah;
d) Dua orang saksi dan;
e) Ijab dan Kabul.”
·
Syarat dan
Rukun perkawinan terdapat dalam Al-Hadits yaitu:
لا نكاح إلا بولي وشأ هدي عدل وما كان من نكاح على غير ذلك فهو باطل فان نشأ
حوأ فالسلطأ ن ولي من لا ولي له
Yang Artinya :
“Tidak sah nikah(akad nikah),kecuali dengan adanya wali dan dua
orang saksi yang adil,dan apabila pernikahan tanpa adanya syarat
tersebur,hukumnya batal,maka apabila seeorang yang menjadi walinya itu tidak
mau mengatakan kehendaknya,maka hakimlah yang menjadi walinya,bagi yang tidak
ada walinya(HR.Ibnu Hibban dari ‘Aisyah)”.
Dalam Hadits tersebut menyebutkan bahwa
tidak sah Nikah tanpa Akad atau
Ijab qobul,wali,dan 2
orang saksi.
3.
Tentang Wali
Nikah yaitu: wali Nikah Nasab dan Hakim
·
Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 20 ayat 1 dan 2:
(1)
Yang bertindak
sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni
muslim, aqil dan baligh.
(2)
Wali nikah
terdiri dari :
a) Wali nasab
b) Wali hakim.
·
Hal ini
terdapat dalam Al-Hadis yaitu:
لا تنكح المراة
إلا بأ ذ ن وليها أو ذى الرأي من أهلها أوالسلطأ ن (الحديث)
Artinya : Wanita tidak
boleh menikah kecuali dengan izin walinya,atau orang cerdik dari kalangan keluarganya
atau penguasa.
فالسطأن ولي من لا ولي له
Artinya: Maka Hakimlah
yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada walinya. (HR.Ahmad,Abu
Dawud,Ibnu Majah dan Nasa’i).
Dari kedua hadits tersebut menyatakan bahwa seseorang bisa menjadi wali
untuk perempuan yang akan menikah yaitu bisa berupa wali Nasab dan Wali Hakim
sesuai apa yang tertera didalam Kompilasi Hukum Islam pasal 20 ayat 1 dan 2 dan
Kompilasi Hukum Islam.
4.
Tentang Waktu
Iddah seoarng perempuan
·
Dalam
Kompilasi Hukum Islam
Pasal 153: Apabila perkawinan putus karena perceraian,waktutunggubagi yang
masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
·
Dalam
Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 288:
وَٱلۡمُطَلَّقَٰتُ
يَتَرَبَّصۡنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَٰثَةَ قُرُوٓءٖۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكۡتُمۡنَ
مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِيٓ أَرۡحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤۡمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ
ٱلۡأٓخِرِۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنۡ أَرَادُوٓاْ إِصۡلَٰحٗاۚ
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيۡهِنَّ دَرَجَةٞۗ
وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ٢٢٨
“Wanita-wanita
yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru´.
Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya,
jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma´ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan
daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Dalam ayat tersebut
menyebutkan bahwa seorang perempuan(janda) harus menunggu masa iddah nya yaitu
selama 3 kali quru’ ada yang menyebutkan bahwa selama 3 kali haid atau bersuci
kurang lebih selama 90 hari sesuai dengan pasal 153 Kompilasi Hukum Islam.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Sejarah Lahirnya UU No.1 Tahun 1974
Kelahiran Undang-undang perkawinan telah mengalami
rentetan sejarah yang cukup panjang dimulai sejak masuknya islam ke Indonesia
sampai akhirnya terbentuklah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adapun
tahapan-tahapan sejarah itu sebagai berikut:
·
Masa Kerajaan Islam di Indonesia
·
Masa Penjajahan
·
Masa Awal Kemerdekaan
·
Masa Menjelang Lahirnya UU Perkawinan
2.
Sejarah
Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang
permasalahan yang menyangkut KHI ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu secara
khusus bagaimana pengertian kompilasi itu sendiri. Istilah “kompilasi” diambil
dari perkataan “compilare”yang mempunyai arti mengumpulkan bersama-sama,
seperti misalnya mengumpulkan peraturan-peraturan yang tersebar berserakan
dimana-mana. Bagaimana pengertian kompilasi menurut hukum? Kompilasi adalah
tidak lain dari sebuah buku hukum atau buku kumpulan yang memuat uraian atau
bahan-bahan hukum tertentu, pendapat hukum, atau juga aturan hukum.
3.
Asas-asas Hukum Perkawinan dalam Kompilasi Hukum
Islam
·
Persetujuan
·
Kebebasan memilih
·
Kemitraan suami-isteri
·
Untuk selama-lamanya
·
Monogami terbuka (Karena Darurat)
·
Kesukarelaan
4.
Proses Politik Penyusunan UU
Perkawinan
Setelah mengalami perubahan
atas amandemen yang masuk dalam panitia kerja,RUU tentang perkawinan yang
diajukan oleh pemerintah pada tanggal 22 Desember 1973 itu diteruskan pada
sidang paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi UU. Dalam Sidang Paripurna DPR RI
tersebut,semua Fraksi mengemukakan pendapatnya. Demikian juga,pemerintah yang
diwakili oleh Menteri Kehakiman memberikan kata Akhirnya. Pada hari itu juga
RUU tentang perkawinan itu disahkan oleh DPR RI setelah dibahas selama lebih
kurang 3 bulan. Pada tanggal 2 Januari 1974 diUndangkan sebagai UU Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan. LN Nomor 1 tahun 1974 tambahan LN Nomor
3019/1974.UU No.7/1989 tentang Peradilan Agama dan UU No.50 tahun 2009 tentang
peradilan Agama
5.
Substansi Hukum Islam dalam UU
Peradilan Agama
6.
Transformasi Hukum Islam Kedalam UU Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam
·
Berkenaan dengan Tujuan Perkawinan: yaitu terdapat dalam
UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 1 dan KHI pasal 3 yang mengatakan
tujuan perkawinan adalah membentuk Keluarga yang Sakinah,Mawadah dan
Warohmah sesuai dengan Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21.
·
Syarat dan Rukun Perkawinan : terdapat dalam KHI pasal 14
yaitu syarat dan rukun perkawinan adalah adanya kedua mempelai,wali,2 orang
saksi,ijab qobul dan mahar. Hal ini terkandung dalam HR.Ibnu Hibban dari
‘Aisyah r.a.
·
Wali Nikah = Nasab dan Hakim: dalam KHI pasal 20 ayat 1
dan 2 menyebutkan bahwa wali nikah bagi perempuan yang mau nikah ada 2 yaitu
wali nikah nasab(keluarga) atau Wali Hakim.terdapat dalam 2 hadits yang berbeda
yaitu: HR.Al-Hadis dan HR.Ahmad,Abu Dawud,Ibnu Majah dan Nasa’i.
·
Masa Iddah Perempuan(Janda):Dalam KHI pasal 153
menyebutkan bahwa masa Iddah Perempuan yang ditalak suaminya adalah selama 3
kali suci (90) hari hal ini terkandung dalam QS.Al-Baqarah ayat 228.
3.2 Penutup
Perlu diketahui bahwa
lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai hukum Islam
di Indonesia melalui proses yang cukup panjang dari masa sebelum masa
kemerdekaan hingga kemerdekaan. Sehingga konsep undang-undang tersebut tidak
terlepas dari berbagai pihak. Namun sebelum lahirnya Undang-Undang No 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, hukum Islam di Indonesia telah muncul undang-undang
lain tetapi kehadirannya mengalami pro dan kontra dari berbagai kalangan
sehinggaperlu adanya berbagai perbaikan. Berangkat dari berbagai perbaikan
undang-undang tersebut maka menjelmalah sebuah undang-undang yakni
Undang-Undang Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dan dalam pembahasan
diatas secara singkat telah dibahas tentang apa dan bagaimana Kompilasi Hukum
Islam dan keberadaannya di Indonesia. Kompilasi adalah merupakan sebuah
kumpulan dari berbagai pendirian dan pendapat hukum yang berkembang dalam dunia
pemikiran yang sudah terseleksi dengan baik. Dengan menetapkan materinya dalam
kompilasi, kita sudah menetapkan pilihan bahwa materi hukum tersebut itulah
yang sudah dianggap terbaik. Pendapat tersebut telah kita kukuhkan sebagai
pendapat resmi, sebutlah sebagai Hukum Islam Indonesia. Penetapannya dilakukan
melalui suatu kesepakatan, karenanya bagaimanapun harus kita terima sebagai
hasil karya bangsa Indonesia.
DAPTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, kompilasi hukum Islam di Indoesia,Jakarta : Akademia
Pressindo, 2010.
Cansil, C.S.T.,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,,Jakarta: Balai
Pustaka,1989.
Ija Suntana,Politik Hukum Islam,Bandung: CV.Pustaka
Setia,2014.
Ihromi, T.O.,Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor
Indonesia,1999.
Manan,Abdul, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed.
I,Jakarta:Kencana, 2006.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal
Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarata:Prenada Media, 2004.
Poesponegoro, Mawarti Djoned dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta:
Balai Pustaka Departemen Pendidikan dam Kebudayaan, 1984.
Prawirohamidjojo,R.Soetedjo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan
Perkawinan di
Indonesia,Surabaya:Universitas Airlangga Press, 1988.
Raharjo,Sajtipto, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung:
Alumni, 1979.
Soekanto,Soerjono, Sosiologi Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga,
Remaja dan Anak,Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Sosroatmodjo, Arso Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia,Jakarta:Bulan
Bintang.
Suwondo,Nani, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat,Jakarta:
Ghalia Indonesia.
[1]
Soerjono Soekanto, Sosiologi
Keluarga: Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, Jakarta: Rineka Cipta,
1990, hal. 22-23.
[2] T.O.Ihromi, Bunga Rampai
Sosiologi Keluarga, Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1999, hal. 284-301.
[3] Sajtipto Raharjo, Hukum dan
Perubahan Sosial, Bandung: Alumni, 1979, hal. 146-147.
[4]
Mawarti Djoned Poesponegoro
dkk, Sejarah Nasional Indonesia Jilid III, Jakarta: Balai Pustaka Departemen
Pendidikan dam Kebudayaan, 1984, hal. 197.
[5]
Arso Sosroatmodjo dan A. Wait
Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang , 1975, hal.
11.
[6]
Nani Suwondo, Kedudukan
Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992,
hal. 77.
[7]
Nani Suwondo
[8]
R. Soetedjo
Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, Surabaya: Universitas Airlangga Press, 1988, hal. 18.
[9]
Arso Sosroatmojo dan A. Wasit
Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, hlm. 9
[10]
Abdul Manan, Aneka Masalah
Hukum Perdata Islam di Indonesia, Ed. I, cet. I (Jakarta: Kencana, 2006),
hlm. 4
[11]
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal
Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarata : Prenada Media,
2004), hlm 24.
[12]
ibid, hal. 25
[13]
C.S.T. Cansil, Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet.VIII (Jakarta : Balai Pustaka,
1989), hlm. 222
[14]
Abdurrahman, kompilasi hukum Islam
di Indoesia, (Jakarta : Akademia Pressindo, 2010), hlm 12
[16]
Ibid, hlm. 35
0 Komentar
Masukkan Komentar Anda