BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Berbagai
pengkajian tentang hukum Islam dalam konteks apapun dan dalam bentuk apapun,
pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memahami kemudian mendeskripsikan
serta menjelaskan berbagai dimensi dan substansi hukum Islam sebagai bagian
dari kehidupan manusia yang dapat digali dari berbagai sumber yang mudah
ditemukan.
Peradilan
Agama berkaitan erat dengan pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Dalam UU no. 50 tahun 2009 pasal 1 dijelaskan bahwa Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. Peradilan
Agama merupakan salah satu pranata hukum Islam yang menjadi satu kesatuan dengan politik Hukum Islam di Indonesia sejak masa
kerajaan Islam[1]
seperti Mataram, Banten, Cirebon, Aceh, dan daerah lainnya. Undang-undang
Peradilan Agama baru menjadi bagian integral dan kelengkapan pelaksanaan Hukum
Islam di Indonesia pada 1989.[2]
Transformasi
merupakan suatu usaha untuk mengadakan perubahan terhadap sesuatu yang telah
ada menjadi sesuatu yang baru, antara lain dengan penyesuaian dan perubahan.
Dalam bidang hukum, transformasi sering dipakai dalam arti penyesuaian hukum
dengan kebutuhan masyarakat. Proses atau upaya transformasi hukum Islam ke dalam tata hukum nasional dimaksudkan sebagai usaha menerapkan hukum
Islam yang normatif menjadi
hukum Islam yang positif atau yang
sering disebut usaha positifisme hukum Islam ke
dalam tata hukum Indonesia. Dengan demikian mewarnai pikiran para pelaku pemerintah
sehingga peradilan diperankan melintas pada masa system ketatanegaraan. Peradilan
agama diletakan sebagai sebuah lembaga yudikatif. Sebagai salah satu alat kelengkapan
pemerintah, peradilan agama juga harus bertanggungjawab terhadap seluruh aspek penegakan
hukum Islam.[3]
Dari penjelasan diatas, kelompok kami akan membahas makalah
tentang “Transformasi Hukum Islam kedalam UU Peradilan Agama” untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Politik Hukum Islam di Indonesia.
1.2.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana konsep
peradilan agama dalam hukum islam?
2.
Bagaimana
sejarah lahirnya UU Peradilan Agama di Indonesia?
3.
Bagaimana
transformasi hukum Islam kedalam UU Peradilan Agama?
1.3.
Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan konsep peradilan agama dalam hukum islam.
2. Menjelaskan sejarah lahirnya UU Peradilan Agama di
Indonesia.
3. Menjelaskan transformasi hukum Islam kedalam UU
Peradilan Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Konsep Peradilan
Agama dalam Hukum Islam
Secara
etimologis, peradilan dalam Islam disebut dengan qadla (qadla, yaqdli,
qadllaun) yang memiliki banyak makna antara lain al-faragu (menyelesaikan)
al-adau (melaksanakan), dan al-hukmu dengan pengertian al-man’u, yaitu mencegah
atau memutus. Istilah peradilan diambil dari kata al-hukmu yang berarti
al-man’u. Oleh karena itu, al-qadla disebut juga al-hukm (pencegahan atau pemutusan)
dan al-qadli[4]
disebut juga al-hakim karena mencegah atau memutus orang berbuat tidak adil.
Dalam konteks penafsiran Al-Qur’an pekerjaan mencegah atau memutus tersebut
menyangkut perbuatan Alloh dan perbuatan manusia. Al-Asfahani menyimpulkan,[5]
qadla adalah pemutusan perkara baik melalui ucapan maupun perbuatan,
masing-masing terdiri atas dua pengertian : putusan bersifat ilahi (ketuhanan)
dan bersifat basiyari (kemanusiaan).
Berdasarkan hal
di atas, putusan tersebut sebenarnya telah ada dalam teks-teks hukum yang
digariskan Allah dan rasa keadilan yang ditanam dalam sanubari manusia. Hakim
sebagai pemutus perkara di pengadilan berusaha secara maksimal untuk memutuskan
putusan tersebut. Sementara itu, peradilan dalam pengertian yang lain juga diartikan
sebagai badan pemerintah yang berfungsi menerapkan hukum terhadap
sengketa-sengketa yang diajukan kepadanya dan administrasi publik mengenai
masalah keadilan. Dalam konteks sejarah peradilan masa lalu menyangkut beberapa
hal antara lain[6]
:
1. Hukum
yang diterapkan adalah syariat Islam. Oleh karena itu peradilan Islam sering
disebut sebagai peradilan syari’ah atau mahkamah syari’ah atau mahkamah
syar’iyyah;
2. Qadhi
atau hakim diberikan otoritas untuk membuat keputusan dan menjatuhkan hukuman;
3. Yurisdiksi
peradilan menyangkut semua sengketa dan dakwaan;
4. Putusan
dan hukuman yang dijatuhkan bersifat executable;
5. Adanya
penggugat dan penuntut;
6. Adanya
tergugat dan terdakwa;
7. Adanya
perkara yang membutuhkan putusan dan hukuman.
Secara
konseptual dan simbolis, peradilan islam di indonesia dilambangkan dengan
timbangan (mizan). Langit, bumi, seluruh alam, dan kehidupan ini ditegakan
dengan timbangan yang benar. Tanpa itu semua, sistem kehidupan secara makro
tidak dapat berjalan dengan baik. Peradilan Agama juga disebut sebagai sunatullah atau hukum Allah yang tidak
berubah. Para filsuf menyebutkan sebagai hukum alam (laws of nature).
Konsep Hukum Peradilan Agama dalam Hukum
Islam tercantum sebagaimana dalam Surat Al-Hadid ayat 25 yang berbunyi:
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# c#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9tRr&ur yÏptø:$# ÏmÏù Ó¨ù't/ ÓÏx© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èuÏ9ur ª!$# `tB ¼çnçÝÇZt ¼ã&s#ßâur Í=øtóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;Èqs% ÖÌtã ÇËÎÈ
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul
kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama
mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan. dan kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan
berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan
supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya
padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha
Perkasa.”
Surat
Al-Hadid ayat 25 berbicara tentang 3 hal yang diturunkan Allah untuk
kepentingan manusia. Pertama kitab
sebagai hukum yang menjadi pedoman utama. Kedua,
timbangan keadilan untuk menilai pelaksanaan hukum. Ketiga, besi sebagai kekuatan memaksa untuk menegakkan hukum (law
and forcement) yang memberikan manfaat bagi kehidupan. Ayat tersebut relatif
mirip dengan teori Trias
Politica Montesquie.
2.2. SejarahPeradilan
Agama di Indonesia
Keberadaan Hukum
Islam dan Peradilan Agama di Indonesia dipengaruhi juga oleh dinamika dan
perkembangan yang melandasi proses legistasi berlakunya hukum Islam di
Indonesia.[7]
Pada masa kolonial Belanda, muncul Teori Receptie In Complexu yang pada
hakikatnya telah mentransformasikan hukum yang hidup dimasyarakat (living law).
Untuk memenuhi politik hukum penjajahan, snouck hurgronje menggagas Teori
Receptie yang selanjutnya dikembangkan oleh Van Vollen Hoven, yaitu hukum Islam
berlaku bagi masyarakat pribumi jika norma hukum Islam telah diterima oleh
masyarakat sebagai hukum adat.
Pada
perkembangan berikutnya, lahirlah Teori Exit
dalam sistem hukum nasional. Perkembangan dan pemikiran teori receptie exit yang dikembangkan oleh
Sayuti Thalib selanjutnya
disebut teori receptie a contario
yang secara harfiah berlawanan dari
teori receptie. Teori receptie mendahulukan berlakunya hukum
adat dari pada hukum Islam, dan hukum Islam tidak dapat diberlakukan bila
bertentangan dengan hukum adat. Sedangkan teori receptie contrario mendahulukan hukum islam daripada hukum adat,
dan hukum adat tidak dapat berlaku juga bertentangan dengan hukum Islam.[8]
1. Pra Kemerdekaan
Ketika Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan
pada 17 agustus 1945, status dan kependudukan Peradilan Agama dibawah
Departemen Kehakiman. Pada 3 januari 1946, lahirlah Departement Agama merupakan
konsensi dan “konpensasi politik” dari Piagam Jakarta. Kelahiran Departemen
Agama diharapkan dapat melakukan konsolidasi dan koordianasi dengan
administrasi lembaga-lembaga Islam
pada sebuah badan yang bersekala nasional. Sejak saat itu Perdilan Agama
menjadi bagian penting dari Departemen Agama.
2. Masa Pemerintahan Orde
Baru ( 1966-1668 )
Eksistensi
Peradilan Agama pada masa orde baru menjadi badan peradilan yang mandiri dan
tidak memiliki ketergantungan, baik langsung maupun tidak langsung, kepada
peradilan umum. Ia menjadi peradilan yang merdeka. Secara administratif,
finansial, dan organisasi, Peradilan di bawah naungan Departemen Agama,
sedangkan secara teknik yustisial berada di bawah naungan Mahkamah Agung.
Sebagaimana maktub dalam pasal 49 ayat 1 Undang-undang No 7 Tahun 1989 bahwa
Peradilan Agama dan kompetensi absolutnya berwenang menyelesaikan perkara
perdata bagi orang Islam. Hukum materil dan formal yang berlaku dalam
lingkungan Peradilan Agama bersumber pada peraturan perundang-undangan yang
bernuansa hukum Islam.
Secara
keberadaan Peradilan Agama melalui Undang-Undang No 7 Tahun 1989 merupakan salah
satu produk politik karena senantiaa bersentuhan dengan kekuasaan (negara) dan
berhubungan langsung dengan kepentingan umat Islam di Indonesia dalam konteks
pembangunan stabilitas hukum nasional.
3. Masa Reformasi dan
Pasca Reformasi
Perkembangan dan
perubahan yang cukup signifikan pasca reformasi tentang Peradilan Agama terjadi
pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono. Hal tersebut ditandai dengan dua
kali perubahan peraturan
perundang-undangan tentang Peradilan Agama. Perubahan pertama melalui Undang-Undang
No 3 Tahun 2006 tentang perubahann atas Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang dalam salah satu pasalnya (pasal 49) menjelaskan bahwa
kompetensi absolut Peradilan Agama tidak hanya seputar perkawinan warisan, wakaf, hibah, dan shodaqoh,
melainkan ditambah dengan penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah.[9]
Perubahan kedua
melalui Undang-Undang No 50 Tahun 2009 tentang
perubahan kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Perubahan kedua tersebut mengatur tentang keterlibatan komisi yudisial dalam
mengawasi kinerja para hakim dan ligkungan badan Peradilan Agama.
2.3. Tranformasi
Hukum Islam kedalam UU Peradilan Agama
1.
Asas Keesaan Allah (At-Tauhid)
Prinsip
ini memiliki pandangan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk tunduk, taat, dan
patuh kepada Allah dan Rasul Nya, serta dilarang keras menyekutukan Allah
dengan yang lain. Hal ini
tercantum dalam al-qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 36:
* (#rßç6ôã$#ur ©!$# wur (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur Ï 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷r& 3 ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä `tB tb%2 Zw$tFøèC #·qãsù ÇÌÏÈ
Artinya: “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.”(Q.S An-Nisaa’:36).
Peradilan
Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hukum agama Islam,
sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat
Basmalah yang diikuti dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Yaitu dalam UU no 7 tahun
1989 tentang peradilan agama.
Pasal 57
1) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA .
2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
BISSMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA.
2.
Asas Keadilan
Asas ini memposisikan manusia pada kewajiban untuk
menegakkan hukum-hukum Allah dan dilarang menetapkan hukum-hukum yang
bertentangan dengan Allah, seperti tercantum dalam surat An-Nisaa’ ayat 58:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”(Q.S.An-Nisaa’: 58)
Dalam asas ini seorang hakim dituntut untuk berlaku
adil, sebagaimana disebutkan pada pasal 16 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 tentang
peradilan agama.
Pasal16
1)
Sebelum memangku
jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib mengucapkan sumpah menurut
agama Islam yang berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya
dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim
Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
3.
Asas Perdamaian
Asas ini terdapat pada pasal 65 dan pasal 82 UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa selama perkara belum
diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada
semua tingkat peradilan. Asas ini juga tercantum dalam pasal 39 UU No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 10:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷uqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ
Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S Al-Hujurat
: 10)
4.
Asas Persamaan
Asas ini menjelaskan bahwa fitrah manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah memiliki kedudukan yang sama dihadapan-Nya yang
membedakan hanyalah ketakwaannya. Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: “ Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Q.S. Al-hujurat : 13).
Dalam pasal 58 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 tentang
peradilan agama menyebutkan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang”.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Konsep
Peradilan Agama dalam Hukum Islam terkandung dalam QS. Al-Hadid ayat 25 yang di
dalamnya dijelaskan untuk memberikan manfaat bagi kehidupan manusia dengan cara
menilai keadilan pelaksanaan hukum dan sebagai kekuatan memaksa untuk
menegakkan hukum.
Sejarah Hukum
Peradilan Agama di Indonesia dibagi menjadi 3 bagian yaitu Masa Prakemerdekaan,
Masa Orde Baru dan Masa Reformasi. Peradilan
Agama mendapat masa kejayaannya pada masa pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono yang telah melakukan
dua kali perubahan peraturan
perundang-undangan tentang Peradilan
Agama.
Tranformasi
Hukum Islam kedalam UU Peradilan Agama, diantaranya:
1.
Asas Keesaan
Allah (At-Tauhid)
Prinsip
ini memiliki pandangan bahwa manusia memiliki kewajiban untuk tunduk, taat, dan
patuh kepada Allah dan Rasul Nya, serta dilarang keras menyekutukan Allah
dengan yang lain. Hal ini
tercantum dalam al-qur’an Surat An-Nisaa’ ayat 36:
* (#rßç6ôã$#ur ©!$# wur (#qä.Îô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur Ï 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷r& 3 ¨bÎ) ©!$# w =Ïtä `tB tb%2 Zw$tFøèC #·qãsù ÇÌÏÈ
Artinya: “Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang
miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu
sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong dan membangga-banggakan diri.”(Q.S An-Nisaa’:36).
Peradilan
Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman pada sumber hukum agama Islam,
sehingga pembuatan putusan ataupun penetapan harus dimulai dengan kalimat
Basmalah yang diikuti dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”. Yaitu dalam UU no 7 tahun
1989 tentang peradilan agama.
Pasal 57
3) Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA .
4) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat
BISSMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA.
2. Asas Keadilan
Asas ini memposisikan manusia pada kewajiban untuk
menegakkan hukum-hukum Allah dan dilarang menetapkan hukum-hukum yang
bertentangan dengan Allah, seperti tercantum dalam surat An-Nisaa’ ayat 58:
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù't br& (#rxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $KÏèÏR /ä3ÝàÏèt ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿx #ZÅÁt/ ÇÎÑÈ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.”(Q.S.An-Nisaa’: 58)
Dalam asas ini seorang hakim dituntut untuk berlaku
adil, sebagaimana disebutkan pada pasal 16 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 tentang
peradilan agama.
Pasal16
2)
Sebelum memangku
jabatannya, Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim wajib mengucapkan sumpah menurut
agama Islam yang berbunyi sebagai berikut :
“Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan
menjalankan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Ketua, Wakil
Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan
keadilan”.
3. Asas Perdamaian
Asas ini terdapat pada pasal 65 dan pasal 82 UU No. 7
tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan bahwa selama perkara belum
diputus, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan pada
semua tingkat peradilan. Asas ini juga tercantum dalam pasal 39 UU No.1 Tahun
1974 tentang perkawinan. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 10:
$yJ¯RÎ) tbqãZÏB÷sßJø9$# ×ouq÷zÎ) (#qßsÎ=ô¹r'sù tû÷üt/ ö/ä3÷uqyzr& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ÷/ä3ª=yès9 tbqçHxqöè? ÇÊÉÈ
Artinya: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya
bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Q.S Al-Hujurat
: 10)
4. Asas Persamaan
Asas ini menjelaskan bahwa fitrah manusia sebagai
makhluk ciptaan Allah memiliki kedudukan yang sama dihadapan-Nya yang
membedakan hanyalah ketakwaannya. Dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13:
$pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz ÇÊÌÈ
Artinya: “ Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal.” (Q.S. Al-hujurat : 13).
Dalam pasal 58 ayat (1) UU No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama
menyebutkan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan
orang”.
DAFTAR PUSTAKA
Abd.Gani Abdullah.
1994 PengantarKompilasiHukum Islam dalam Tata Hukum
Indonesia, :
Jakarta,
Gema Insani Press.
Aden
Rosidi. 2015, Peradilan Agama di
Indonesia Dinamika Pembentukan Hukum, Bandung, Simbiosa Rekatama Media.
Anwar
Harjono. 1995 Indonesia kita; pemikiran
berwawasan iman-islam, Jakarta: Gema Insani Press.
Muhamad
Salam Madkur, Al-Qadla Fi Al-Islam, Qairo : Dar Al-Fikr.
UU
No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
[1]Abdul Ghani Abdulla,
Peradilan Agama dalam pemerintahan Islam kesultanan Bima (1947-1957), Cet. I ,
Bandung : Ulul Albab Press, 1998
[2]Anwar Harjono, Indonesia
kita; pemikiran berwawasan iman-islam, Jakarta : Gema Insani Press, 1995, hlm.
121.
[3]Abd.Gani
Abdullah, PengantarKompilasiHukum Islam dalam
Tata Hukum Indonesia, : Jakarta, Gema Insani Press,
1994, hlm. 35
[4]Muhamad Salam Madkur,
Al-Qadla Fi Al-Islam, Qairo : Dar Al-Fikr, t,t, hlm. 421
[5]Al-Raghib Al-Asfahani,
Mu’jam mufradat Al-Fazh, Al-Qur’an, Beirut : Dar Al-Fikr, tth, hlm. 421
[6]Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indosesia Dinamika
Pembentukan Hukum : Bandung Simbiosa Rekatama Media, hlm. 32
[7]Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indosesia Dinamika
Pembentukan Hukum : Bandung Simbiosa Rekatama Media, hlm. 59
[8]Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indosesia Dinamika
Pembentukan Hukum : Bandung Simbiosa Rekatama Media, hlm. 60
[9]Aden Rosadi, Peradilan Agama di Indosesia Dinamika
Pembentukan Hukum : Bandung Simbiosa Rekatama Media, hlm. 71
1 Komentar
Nice
BalasHapusMasukkan Komentar Anda