Rols

6/recent/ticker-posts

Advertisement

Responsive Advertisement

Resume: Buku Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi “ I Wayan Parthiana ”

Nama   : Asep Saepudin
NIM    : 1133060013
Kelas   : HPI/V/A
Matkul: Hukum Acara Pidana Internasional
Resume: Buku Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi “ I Wayan Parthiana ” 

PELANGGARAN TERHADAP HAK ASASI MANUSIA DAN BERBAGAI USAHA PENYELESAIANNYA
A.    Pendahuluan
         Hak-hak asasi manusia yang sudah diakui secara universal, idealnya haruslah dihormati dan dilindungi oleh semua pihak, baik negara, organisasi internasional antar-pemerintah (inter-governmental organisation) maupun non-pemerintah (non –governmental organisation), orang perorangan baik secara individual maupun kolektif. Hanya dengan penghormatan dan perlindungan yang optimal maka hak-hak asasi manusia benar-benar dapat ditegakkan dalam kehidupan nyata masyrakat baik nasional maupun internasional.
         Akan tetapi hal yang ideal itu tidak selalu terwujud dalam kehidupan nyata masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran atas hak asasi manusia dalam segala bentuk dan macamnya, dari tingkatan yang paling ringan hingga yang paling berat, jika dibandingkan dengan peristiwa penghormatan dan perlindungan hak-hak asasi manusia, artinya masih lebih banyak yang menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia dibandingkan dengan melanggarnya, namun peristiwa pelanggaran hukum pada umumnya, pelanggaran HAM pada khususnya, selalu menimbulkan rasa khawatir dan merasa cemas dikalangan masyarakat.
         Dalam beberapa persoalan mendasar dapat diajukan, antara lain: siapakah yang dapat melakukan pelanggaran HAM dan dalam wujud apa saja pelanggaran tersebut? Bagaimana upaya hukum yang dapat ditempuh untuk meminta pertanggung jawaban kepada si pelanggar? Bagaimana proses atau  mekanisme pemaksaannya? Bagaimana pula konvensasi yang harus diberikan kepada sang korban atas penderitaannya sebagai dari akibat atas pelanggaran HAM?
B.     Siapa yang dapat  melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia?
         Secara teoritis setiap subjek hukum yang berkewajiban untuk menghormati dan melindungi HAM. Namun dari semua subjek hukum yang sudah umum diketahui negaralah yang mempunyai peranan sentral, sebab negara memiliki kedaulatan (internal maupun eksternal), dan dari kedaulatan ini lahir kekuasaan (power) dan kewenangan authority untuk kekuasaan dan kewenangan oleh aparat-aparat negara, yang  juga potensial penyalahgunaannya dan jika berkenaan dengan HAM maka penyalahgunaanya berupa pelanggaran atas HAM.
Individu dalam kategori yang lain adalah individu atau orang perorangan yang tidak terkait dengan negara atau pejabat negara, yakni individu yang menjadi pelakunya benar-benar dalam posisinya semata-mata sebagai orang perorangan ataupun berupa sekelompok orang baik yang terorganisasi misalnya, kaum teroris, kaum anarkis dan sindikat-sindikat kriminalisasi.
C.     Tanggung jawab masing-masing subyek hukum dalam pelanggaran atas hak-hak asasi manusia
1.      Negara sebagai pelaku pelanggaran atas Hak Asasi Manusia
a.       Kontruksi pertama (pada tataran internasional)
Negara sebagai pihak atau subyek hukum yang berkewajiban menghormati dan melindungi HAM. Orang yang bersangkutan dapat mengklaim negara itu, -melalui mekanisme tertentu – kehadapan lembaga  internasional yang berwenang menangani pelanggaran HAM. Sudah tentu HAM yang dilanggar oleh negara itu adalah HAM yang sudah diformulasikan dalam bentuk instrumen-instrumen hukum internasional, seperti konvensi tentang HAM
b.      Kontruksi kedua (pada tataran nasional)
Suatu negara memiliki undang-undang tentang HAM disertai dengan mekanisme pelaksanaan dan pemaksaannya (UU tentang HAM dan UU komisi nasional HAM serta UU tentang pengadilan HAM). Setiap warga negara ataupun orang asing yang berada di wilayah negara yang bersangkutan yang merasa hak-hak asasinya dilanggar, dapat mengklaim negara (pemerintah negara) kehadapan komisi dan jika terpenuhi kriterianya, dapat di ajukan lagi kehadapan HAM, jika dinyatakan bersalah telah melanggar HAM maka putusan itu harus dieksekusi.
2.      Individu sebagai Pelaku Pelanggaran Atas HAM
a.       Kontruksi pertama (pada tataran internasional)
Individu atau orang perorangan dapat dimintakan pertanggung jawaban atas pelanggaran HAM. Individu inilah yang dapat dimintakan pertanggung jawabannya pada tataran internasional melalui suatu badan peradilan internasional. Dalam sejarahnya, terdapat kasus pelanggaran HAM, dan nilai-nilai kemanusiaan universal yang pelakunya diadili atau dimintakan pertanggung jawaban di hadapan badan peradilan internasional, seperti mahkamah militer di Nurenberg 1946 dan Tokyo pada tahun 1948. Dan juga yang dimintakan pertanggung jawabannya dihadapan badan-badan peradilan internasional Ad hoc, seperti mahkamah pidana internasional dalam kasus ex Yugoslavia di Den Haag dan mahkamah pidana internasional dalam kasus Rwanda di Arusha, Tanzania demi mencegah terjadinya inpunitas, masyarakat internasional melalui dewan keamanan PBB membentuk peradilan internasional Ad hoc untuk mengadili pelaku pelanggaran kejahatan HAM.
b.      Kontruksi kedua (tataran nasional)
1.      Negara itu memiliki kemampuan untuk menerapkan hukum atau perundang-undangan internasional dihadapan badan peradilan HAM nasional.
2.      Proses pemeriksaan melalui badan peradilannya itu memenuhi kriteria pemeriksaan perkara sesuai dengan prinsip : just, fair, and impartial.
D.    Kasus-kasus tentang pelanggaran hak-hak asasi manusia
         Pelanggaran HAM dalam kasus ex Yugoslavia dan Rwanda : Pembentukan International Crimnal Tribunal for the Former Yugoslavia dan Rwanda. Kasus ini memperlihatkan, bahwa suatu negara yang ternyata tidak mampu mengadili sendiri warganegaranya ataupun orang yang bukan warganegaranya berdasarkan hukum nasional, proses peradilannya akan dilakukan oleh masyarakat internasional melalui PBB c.q. Dewan Keamanan. Keadaan kedua negara yang porak poranda sebagai akibat dari perang saudara, mengakibatkan pula hukum nasionalnya tidak dapat berlaku secara efektif. Perang ini telah menimbulkan pula korban-korban di luar batas-batas perikemanusiaan yang juga secara nyata-nyata merupakan pelanggaran atas hak-hak asasi manusia yang pelaku-pelakunya adalah para pejabat negara maupun pemimpin militer dari negara itu sendiri, bahkan juga oleh orang-orang sipil biasa yang berkolaborasi dengan pejabat negara dan/atau militer. Karena tidak efektifnya hukum nasional, sedangkan peristiwa yang itu dinilai sebagai pelanggaran yang sangat keji terhadap hak-hak asasi manusia, serta demi mencegah terjadinya impunitas atas para pelakunya, dibentuklah peradilan pidana internasional ad hoc berdasarkan Resolusi 995/1994 untuk Rwanda yang masing-masing berkedudukan di Den Haag, Belanda dan Arusha, Tanzania yang hingga kini sudah, sedang dan akan terus mengadili individu-individu yang dituduh sebagai pelakunya.
         Peradilan ad hoc inipun hampir mirip dengan Mahkamah Militer Internasionall di Nurenberg dan Tokyo seperti disebutkan di atas, namun tampaknya tidak terkena tudingan menerapkan hukum yang ex post facto sebab kaidah-kaidah hukum yang diterapkan atau dituduhkan terhadap pelakunya telah memiliki daya mengikat sebagai hukum positif jauh sebelum terjadinya peristiwa itu sendiri.
E.     Kesimpulan
1.      Peristiwa pelanggaran HAM, dari yang paling ringan hingga yang paling berat, dapat terjadi dimana saja dimuka bumi ini, baik di negara-negara maju maupun di negara-negara yang sedang berkembang, baik yang dilakukan oleh negara melalui aparat-aparatnya, oleh individu, ataupun kolaborasi antar keduanya.
2.      Penyelesaian atas kasus pelanggaran-pelanggaran HAM pada tataran nasional ternyata berbeda-beda, yang terutama disebabkan oleh sisem politik dan ketatanegaraan yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya.
3.      Semakin demokratis sistemm politik, dan ketatanegaraan suatu negara, semakin tinggi penghormatan dan perlindungan atas HAM, dan semakin baik pula penyelesaian atas pelanggaran-pelanggaran HAM. Sebaliknya, semakin otoriter sistem politik dan ketatanegaraan suatu negara, semakin rendah tingkat penghormatan dan perlindungannya atas HAM dan demikian pula penyelesaiannya atas kasus-kasus pelanggaran HAM.
4.      Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh individu-individu yang lain ataupun pelanggaran HAM dari masyarakat luas (publik), sebenarnya telah tertampung didalam hukum pidana internasional negara-negara. Dalam hal ini, negara sebagai pribadi hukum publik bertindak untuk melindungi korban maupun masyarakat luas dengan mengenakan sanksi pidana terhadap pelakunya, terutama dalam rangka mengembalikan hak-hak individu atau rakyat atas rasa aman, tertib, dan tentram sebagai salah satu HAM. Oleh karena itu, penegakan hukum pidana secara baik, jujur, adil, dan tidak memihak, hakikatnya juga adalah merupakan wujud dari penghormatan  danperlindungan terhadap HAM.
5.      Akan tetapi negara pun dalam rangka melakukan kewajibannya menegakkan dan menghormati HAM, secara potensial juga dapat melakukan pelanggaran atas HAM. Oleh karena itu negara pun juga dapat dimintakan pertanggung jawaban atas pelanggaran HAM. Yang dilakukannya (yang dalam praktiknya tentulah dilakukan oleh aparat sipil dan militer)sedangkan korbannya adalah individu (baik secara individual maupun kolektif). Mekanisme pertanggungjawaban negara yang diduga telah melakukan pelanggaran atas HAM seorang atau lebih individu (warga negaranya ataupun orang yang bukan warga negaranya),dapat diwujudkan dalam bentuk pengadilan hak-hak asasi manusia nasional,dimana individu yang merasa HAM yang di langgar oleh negara dapat mengaju klaim kehadapan badan pengadilan HAM tersebut.
6.      Pada tataran international negara juga, dapat dimintakan pertanggungjawabanatas pelanggaran individu (warga negara nya ataupun bukan negara nya),jika negara itu diduga telah melanggarnya sebagaimana ditentukan di dalam konvensi international regional dan negara itu menjadi peserta dari konvensi itu. Tentu saja upaya ini hanya dapat di tempuh kawasan-kawasan yang sudah memiliki konvensi regional saja. Sedaangkan yang bvelim memilikinya,sudah tentu upaya seperti ini tidak dapat dilakukan. Akan tetapi situasi dan kondisi dari masing-masing kawasan tempat berlakunya konvensi itu tidak sama, maka dalam kenyaataannya konvensi HAM kawasan itupun tidak sama efektifitasnya jadi ada yang efektif dan ada juga kurang,bahkan tidak efektif.
7.      Pembentukan Mahkamah pidana internasional berdasarkan statuta Roma 1998 dengan wewenang mengadili para pelaku kejahatan HAM, merupakan usaha yang cukup ideal dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. namun dalam prateknya akan menghadapi beberapa kendala praktis, mengingat dimensi-dimensi politik yang cukup dominan dari kejahatan-kejahatan HAM yang tergolong berat dan serius.
8.      Sebagai akibat dari adanya berbagai macam cara atau sarana dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran atas HAM, bahkan masih adanya kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak terselesaikan secara hukum, masyarakat nasional maupun internasional akan selalu berhadapan dengan ketidak pastian hukum yang tentu saja kurang baik dalam penghormatan, perlindungan dan penegakkan HAM.

Posting Komentar

0 Komentar

Perbedaan KCU dan KCP