BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan
merupakan institusi yang sangat penting dalam masyarakat. Di dalam agama islam
sendiri perkawinan merupakan sunnah Nabi Muhammad Saw, dimana bagi setiap
umatnya dituntut untuk mengikutinya. Perkawinan di dalam islam sangatlah
dianjurkan, agar dorongan terhadap keinginan biologis dan psikisnya dapat
tersalurkan secara halal, dengan tujuan untuk menghindarkan diri dari perbuatan
zina. Anjuran untuk menikah ini telah diatur dalam sumber ajaran islam yaitu
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Di
Indonesia sendiri telah terdapat hukum nasional yang mengatur dalam bidang
hukum perkawinan yaitu UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Aturan
Pelaksanaannya PP Nomor 9 Tahun 1975.Perkawinan ialah suatu pertalian yang sah
antara seorang laki-laki dan perempuan untuk waktu yang lama. Undang-undang
memandang perkawinan hanya dari hubungan keperdataan, demikian pasal 26
Burgerlijk Wetboek.
Suami istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak. Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Untuk melindungi istri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya. Pemisahan kekayaan dapat diakhiri ataspersetujuan kedua belah pihak dengan meletakan persetujuan itu di dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan seperti yang ditentukan untuk pengumuman hakim dalam mengadakan pemisahan itu.
Suami istri harus setia satu sama lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan bersama-sama mendidik anak-anak. Perceraian ialah penghapusan perkawinan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.
Untuk melindungi istri terhadap kekuasaan si suami yang sangat luas itu atas kekayaan bersama serta kekayaan pribadi si isteri, undang-undang memberikan pada si isteri suatu hak untuk meminta pada hakim supaya diadakan pemisahan kekayaan dengan tetap berlangsungnya. Pemisahan kekayaan dapat diakhiri ataspersetujuan kedua belah pihak dengan meletakan persetujuan itu di dalam suatu akte notaris, yang harus diumumkan seperti yang ditentukan untuk pengumuman hakim dalam mengadakan pemisahan itu.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusah masalah yang akan
kami bahas antara lain:
1. Apa saja syarat-syarat perkawinan?
2. Bagaimana hak dan kewajiban suami dan
istri?
3. Bagaimana akibat dari perkawinan?
4. Bagaimana perjanjian perkawinan?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini
adalah:
1. Untuk mengetahui syarat-syarat
perkawinan.
2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban
suami dan istri.
3. Untuk mengetahui akibat dari perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum Perkawinan
1. Syarat-syarat Perkawinan
Suatu perkawinan yang sah hanyalah
perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan syarat-syarat serta
peraturan agama dikesampaingkan. Larangan ini termasuk ketertiban umum, artinya
apabila dilanggar selalu diancam dengan pembatalan perkawinan yang
ilangsungkan itu.
Syarat-syarat untuk dapat sahnya
perkawinan, yaitu :
a. Kedua pihak harus telah mencapai
umur yang ditetapkan dalam undang-undang, yaitu untuk seorang lelaki 18 tahun
dan perempuan 15 tahun;
b. Harus ada persetujuan yang bebas
dari kedua belah pihak;
c. Untuk seorang perempuan yang sudah
pernah kawin harus lewat 300 hari dahulu sesudahnya putusan perkawinan
pertamanya;
d. Tidak adanya larangan alam
undang-undang bagi kedua belah pihak;
e. Untuk pihak yang masih dibawah umur
, harus ada izin dari orang tua atau wali.
Tentang
hal larangan untuk kawin dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan
kawin dengansaudaranya, meskipun saudara tiri, seorang
tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya, seorang pamandilarang
kawin dengan keponakannya dan sebagainya.
Tentang
hal izin dapat dapat diterangkan bahwa kedua orang tua harus
memberikan izin, atau ada kata sepakat antara ayah dan ibu masing-masing pihak.
Jikalau ada wali, wali inipun harus memberikan izin, dan kalau wali ini sendiri
hendak hendak kawin dengan anak yang dibawah pengawasannya, harus ada izin dari
wali pengawas (toeziende voogd). Kalau kedua orang tua sudah meninggal,
yang membrikan izin ialah kakek-nenek., baik dari pihak ayah maupun ibu,
sedangkan izin wali pun masih tetap diperlukan.
Untuk
anak-anak yang diluar perkawinan, tetapi diakui oleh kedua orang tuanya,
berlaku pokok aturan yang sama dengan pemberian izin, kecuali jika tidak
terdapat kata sepakat antara kedua orang tua, hakim dapat iminta campur tangan,
dan kakek-nenek tidak menggantikan orang tua dalam hal memberikan izin.
Untuk
anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun masih juga diperlukan
izin orang tuanya. Tetapi kalau mereka ini tidak mau memberikan izinnya, anak
dapat memintanya dengan perantara hakim. Dalam waktu tiga minggu, hakim akan
memanggil orang tua dan anak untuk didengar dalam sidang tertutup. Jikalau
orang tua tidak menghadap, perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah lewat
tiga bulan.
Sebelum
perkawinan dilangsungkan, harus dilakukan terlebih dahulu :
a.
Pemberitahuan (aangifte) tentang kehendak akan kawin kepada Pegawai
Pencatatan Sipil (Ambtenaar Burgerlijk Stand), yaitu pegawai yang
nantinya akan melangsungkan pernikahan;
b.
Pengumuman (afkondiging) oleh pegawai tersebut, tentang akan
dilangsungkan pernikahan itu.
Kepada
beberapa orang oleh undang-undang diberikan hak untuk mencegah atau menahan (stuiten)
dilangsukannya pernikahan, yaitu:
a.
Kepada suami atau istri serta anak-anak dari sesuatu pihak yang kan hendak
kawin;
b.
Kepada orang tua kedua belah pihak;
c.
Oleh jaksa (Officier van Justitie).
Seorang suami dapat menghalang-halangi
perkawinan yang kedua dari istrinya dan sebaliknya, sedangkan anak pun dapat
mencegah perkawinan yang kedua dari ayah dan ibunya. Orang tua dapat mencegah
pernikahan, jikalau anak-anaknya belum mendapatkan izin dari mereka. Juga
diperkenankan bahwa setelah memberikan izin barulah mereka mengetahui yang
calon menantunya telah ditaruh di bawah curatele.
Kepada Jaksa diberikan hak untuk
mencegah dilangsungkannya perkawinan yang sekiranya akan melanggar
larangan-larangan yang bersifat menjaga ketertiban umum.Caranya mencegah
perkawinan itu ialah dengan memasukkan perlawanan kepada Hakim. Pegawai
Pencatatan Sipil lalu tidak boleh melangsungkan pernikahan sebelum ia menerima
putusan Hakim.
Surat-surat yang harus diserahkan kepada Pegawai Pencatatan Sipil agar ia
dapat melangsungkan pernikahan, yaitu :
1.
Surat kelahiran masinh-masing;
2.
Surat pernyataan dari Pegawai Pencatatan Sipil tentang adanya izin orang
tua, izin mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan sendiri yang akan
dibuat itu;
3.
Proses verbal dari mana ternyata perantaraan hakim dalam hal
perantaraan ini dibituhkan;
4.
Surat kematian suami atau istri atau putusan perceraian perkawinan lama;
5.
Surat keterangan dari Pegawai Pencatatan Sipil yang menyatakan telah
dilangsungkan pengumuman dengan tiada perlawanan dari sesuatu pihak;
6.
Dispensasi dari Presiden (Menteri Kehakiman), dalam hal ada suatu larangan
untuk kawin.
Pegawai Pencatatan Sipil berhak
menolnak untuk melangsungkan pernikahan apabila ia menganggap surat-surat
kurang cukup dalam hal yang demikian pihak-pihak yang berkepentingan dapat
memajukan permohonan kepada hakim untuk menyatakan bahwa surat-surat itu telah
mencukupi.
Pada asasnya seorang yang hendak
kawin diharuskan menghadap sendiri dimuka pegawai Burgerlijk Stand itu dengan
membawa dua orang saksi hanya dalam keadaan yang luar biasa dapat diberikan
izin oleh Menteri Kehakiman untuk mewakilkan orang lain menghadap yang harus
dikuasakan authentiek.
Suatu perkawinan yang dilangsungkan
diluar negeri sah apabila dilangsungkan menurut cara-cara yang berlaku di
negeri asing bersangkutan asal saja tidak dilanggar larangan-larangan yang
bersifat menjaga ketertban umum dinegeri kita sendiri dalam satu tahun setelah
mereka di Indonesia perkawinan harus didaftarkan dalam daftar Burgerlijk Stand
ditempat kediamannya.
Ada kemungkinan, misalnya karena
kekhilafan suatu pernikahan telah dilangsungkan pada hal ada syarat-syarat yang
tidak dipenuhi atau ada larngan-larngan yang telah terlanggar misalnya salah
satu pihak masih terikat oleh suatu perkawinan lama atau perkawinan telah
dilangsungkan oleh Pegawai Pencatatan Sipil yang tidak berkuasa atau lain
sebagainya perkawinan semacam itu dapat dibatalkan oleh hakim atas tuntunan
orang-orang yang berkepentingan atau atas tuntunan Jaksa tetapi selama
pembatalan ini belum dilakukan perkawinan tersebut berlaku sebagai suatu
perkawinan yang sah.
Meskipun suatu pembatalan itu pada
dasarnya bertujuan mengembalikan keadaan seperti pada waktu perbuatan yang
dibatalkan itu belum terjadi, tetapi dalam suatu hal perkawinan dibatalkan,
tidak boleh kita beranggapan seolah-olah tidak pernah terjadi suatu perkawinan,
karena terlalu banyak kepentingan dari berbagai pihak harus dilindungi. Dari
itu, dalam hal suatu perkawinan dibatalkan, undang-undang telah meneteapkan
sebagai berikut :
1.
Jika sudah dilahirkan anak-anak dari perkawinan tersebut, anak-anak ini
tetap mempunyai kedudukan sebagai anak yang sah;
2.
Pihak yang berlaku jujur tetap memperoleh dari perkawinan itu hak-hak yang
semesti didapatnya sebagai suami atau istri dalam perkawinan yang dibatalkan
itu;
3.
Juga orang-orang pihak ketiga yang berlaku jujur tidak boleh dirugikan
karena pembatalan perkawinan itu.
Pada asasnya suatu perkawinan harus
dibuktikan dengan surat perkawinan. Hanya, apabila daftar-daftar Pencatatan
Sipil telah hilang, diserahkan kepada Hakim untuk menerima pembuktian secara
lain, asal saja menurut keadaan yang nampak keluar dua orang laki perempuan
dapat dipandang sebagai suami istri, atau menurut perkataan undang-undang :
asal ada suatu “bezit van den huwelijken staat”.
2. Hak dan kewajiban suami-istri
Suami istri harus setia satu sama
lain, bantu-membantu,berdiam bersama-sama, saling memberikan nafkah dan
bersama-sama mendidik anak-anak.
Perkawinan oleh undang-undang
dipandang sebagai suatu “perkumpulan” (echtvereniging).
Suami ditetapkan menjadi kepala atau pengurusnya. Suami mengurus kekayaan
mereka bersama disamping berhak juga mengurus kekayaan si isteri, menentukan
tempat kediaman bersama, melakukan kekuasaan orang tua dan selanjutnya
memberikan bantuan (bijstand) kepada si isteri dalam hal melakukan
perbuatan-perbuatan hukum. Yang belakangan ini, berhubungan dengan ketentuan
dalam Hukum Perdata Eropah, bahwa seseorang perempuan yang telah kawin tidak
cakap untuk bertindak sendiri di dalam hukum. Kekuasaaan seorang suami di dalam
perkawinan itu dinamakan “maritale macht” (dari bahasa Perancis mari = suami).
Pengurus kekayaan si isteri itu,
oleh suami harus dilakukan sebaik-baiknya (“als een goed huisvader”) dan si
isteri dapat minta pertanggungjawab tentang pengurusan itu. Kekayaan suami
untuk itu menjadi jaminan, apabila ia sampai dihukum mengganti
kekurangan-kekurangan atau kemerosotan kekayaan si isteri yang terjadi karena
kesalahannya. Pembatasan yang terang dari kekuasaan si suami dalam hal mengurus
kekayaan isterinya, tidak terdapat dalam undang-undang, melainkan ada suatu
pasal yang menyatakan, bahwa suami tak diperbolehkan menjual atau menggadaikan
benda-benda yang bergerak kepunyaan si isteri (pasal 105 ayat 5 B.W.). meskipun
begitu, sekarang ini menurut pendapat kebanyakan ahli hukum menjual atau
menggadaikan barang-barang yang bergerak dengan tidak seizin si isteri juga tak
diperkenankan apabila melampaui batas pengertian “mengurus” (“beheren”)
Pasal 140, membuka kemungkinan bagi
si isteri untuk (sebelum melamgsungkan pernikahan) mengadakan perjanjian bahwa
ia berhak untuk mengurus sendiri kekayaannya. Jiga dengan “pemisahan kekayaan”
(“scheiding van goederen”) atau dengan “pemisahan meja dan tempat tidur”
si isteri dengan sendirinya memperoleh kembali haknya untuk mengurus kekayaan
sendiri.
Jikalau suami memberikan bantuan
(bijstand), suami-isteri itu bertindak bersama-sama untuk membantu isterinya :
si isteri untuk dirinya sendiri dan si suami untuk membantunya isterinya. Jadi
mereka itu bersama-sama, misalnya pergi ke notaris atau mengahadap Hakim.
Menurut pasal 108 bantuan itu dapat diganti dengan suatu persetujuan tertulis.
Dalam hal yang demikian, si isteri dapat bertindak sendiri dengan membawa surat
kuasa dari suami. Perlu diterangkan, bahwa perkataan acte dalam pasal 108
tersebut tidaklah berati surat atau tulisan, melainkan berarti “perbuatan
hukum”. Perkataan tersebut berasal dari bahsa Perancis, ”acte” yang berarti
perbuatan.
Ketidakcakapan seorang isteri itu,
di dalam hukum perjanjian dinyatakan secara tegas (pasal 1330); seorang
perempuan yang telah kawin dipersamakan dengan seorang yang berada dibawah
curatele aatau seorang yang belum dewasa. Mereka ini semuanya dinyatakan “tidak
cakap” untuk membuat suatu perjanjian. Tetapi perbedaannya masih ada juga,
yaitu seorang isteri bertindak sendiri(meskipun
didampingi oleh suami atau dikuasakan), sedangkan orang yang bekum dewasa atau
seorang curandus tidak pernah tampil ke muka dan selalu harus diwakili oleh
orang tua, wali atau kurator.
Selanjutnya perlu diterangkan, bahwa
ketidakcakapan seorang isteri, hukum kekayaan dan yang mungkin membawa
akibat-akibat bagi kekayaan si isteri itu sendiri. Karena itu, mengakui seorang
anak yang lahir diluar perkawinan atau memintakan curatele terhadap ayahnya ia
dapat dilakukan sendiri dengan tak usah dibantu oleh suami, begitu pula sebagai
wali atau curatriceatau sebagai directrice suatu N.V ia dapat bertindak
sendiri. Hanya untuk memangku jabatan-jabatan ini, ia harus mendapat
persetujuan atau kuasa dahulu dari suaminya, sebab memegang jabatan-jabatan itu
memang mungkin membawa akibat-akibat bagi kekayaannya sendiri.
Terhadap ketentuan, bahwa seseorang
isteri harus dibantu oleh suaminya, diadakan beberapa kekecualian berdasarkan
anggapan, untuk perbuatan-perbuatan itu si isteri telah mendapat persetujuan
atau kuasa dari suaminya (veronderstelde machtiging). Yang dimaksudkan
di sini, ialah perbuatan-perbuatan si isteriuntuk kepentingan rumah-tangga dan
apabila si isteri mempunyai pekerjaan sendiri. Misalnya pembelian-pembelian di
toko, asal saja dapat dimaksudkan pengertian “keperluan rumah-tangga biasa dan
sehari-hari” (demikian pasal 109), adalah sah dan harus dibayar oleh suaminya.
Dalam praktek oleh Hakim dipakai sebagai ukuran nilainya tiap rumah-tangga,
sehingga misalnya pembelian sebuah es bagi isteri seorang direktur bank dapat
dianggap sebagai keperluan rumah-tangga biasa dan sehari-hari akan tetapi tidak
sedimikian halnya bagi isteri seorang jurutulis.
Teranglah, bahwa sang suami selalu
berhak untuk mempermaklumkan kepada orang-orang pihak ketiga, bahwa ia tidak
mengizinkan isterinya untuk bertindak sendiri meskipun mengenai hal-hal dalam
lapangan rumah-tangga itu.Bantuan suami juga tidak diperlukan, apabial si
isteri dituntut di depan hakim dala perkara pidana, begitu pula apabila si
isteri mengajukan gugatan terhadap suaminya untuk mendapatkan perceraian atau
pemisahan kekayaan atau ia sendiri digugat oleh suaminya untuk mendapat
perceraian.
Peraturan tentang ketidakcakapan
seorang isteri itu oleh Mahkamah Agung dianggap sekarang tidak berlaku lagi. Dan
memang ketentuan pasal 108 BW tentang ketidakcakapan seorang isteri itu harus
dianggap sudah cabut oleh Undang-undang Perkawinan, pasal 31 (1) yang
mengatakan, bahwa suami-isteri masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum
sendiri.
Akibat-akibat lain dari perkawinan :
1.
Anak-anak yang lahir dari perkawinan, adalah anak yang sah (wettig).
2.
Suami menjadi waris dari si isteri dan begitu sebaliknya, apabial salah satu
meninggal dalam perkawinan.
3.
Oleh undang-undang dilarang jual beli antara suami-isteri.
4.
Perjanjian perburuhan antara suami-isteri tak diperbolehkan.
5.
Pemberian benda-benda atas nama tak diperbolehakan antara suami-isteri.
6.
Suami tak diperbolehkan menjadi saksi atas kejahatan yang diperbuat oleh si
isterinya dan begit pula sebaliknya.
7.
Suami tak dapat dituntut tentang beberpa kejahatan terhadap isterinya dan
begitu sebaliknya (misalnya pencurian)
3. Akibat Perkawinan
Di dalam peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perkawinan, terdapat tiga akibat
perkawinan, yaitu:
1. Adanya hubungan suami-istri
2. Hubungan orang tua dengan anak
3. Masalah harta kekayaan
Hubungan hukum adalah timbulnya hak
dan kewajiban antara suami-istri sejak terjadi perkawinan. Hak dan kewajiban
suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 34 UU Nomor 1 Tahun 1974.
Hak dan kewajiban suami-istri menurut UU Nomor 1 Tahun 1974, yaitu:
1.
Suami-istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (pasal 30 UU Nomor 1 Tahun 1974).
2.
Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami
dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup masyarakat (pasal 31 ayat (1)
UU Nomor 1 Tahun 1974).
3.
Suami-istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum (pasal 31 ayat (2) UU
Nomor 1 Tahun 1974).
4.
Suami istri wajib mempunyai tempat kediaman yang tetap (Pasal 32 ayat (1) UU
Nomor 1 Tahun 1974).
5.
Suami-istri wajib saling mencintai, hormat-menghormati, setia dan member
bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain (Pasal 33 UU Nomor 1 Tahun 1974).
6.
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan
rumah tangga sesuai dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun
1974).
7.
Istri wajib mengatur utusan rumah tangga sebaik-baiknya (Pasal 34 ayat (2)
UU Nomor 1 Tahun 1974).
Apabila
kewajiban-kewajiban itu dilalaikan oleh suami maka istri dapat mengajukan
gugatan kepada pengadilan. Di dalam pasal 103 KUH Perdata juga diatur tentang
hak dan kewajiban suami-istri. Hak dan kewajiban suami-istri sebagai berikut:
a)
Suami adalah kepala rumah tangga.
b)
Suami harus membantu istri.
c)
Suami harus mengurus harta bawaan istri.
d)
Suami harus mengurus harta seperti bapak rumah tangga yang baik.
e)
Suami tidak boleh menbebankan/memiliki harta bawaan istri.
Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anak diatur
dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 UU Nomor 1 Tahun 1974. Hak dan kewajiban
orang tua dan anak adalah sebagai berikut:
1.
Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sensiri
(Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) UU nomor 1 Tahun1974).
2.
Anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik
(Pasal 46 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974).
3.
Anak wajib memelihara dan membantu orang tuanya, manakala sudah tua (Pasal
46 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974).
4.
Anak yang belum dewasa, belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah
kuasa orang tua (Pasal 47 ayat (1) UU Nomor 1 tahun 1974).
5.
Orang tua mewakili anak dibawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala
perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 ayat (2) UU Nomor 1
Tahun 1974).
6.
Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak
menghendakinya (Pasal 48 UU Nomor 1 Tahun 1974).
Harta
benda dalam perkawinan diatur dalam pasal 35 sampai dengan pasal 37 UU Nomor 1
Tahun 1974. Didalam ketentuan itu dibedakan antara harta bersama dan harta
bawaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan
yang diartikan dengan harta bawaan masing-masing suami-istri adalah harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
Harta
warisan itu berada di bawah penguasaan masing-masing pihak, sepanjang para
pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974). Apabila
perkawinan antara suami-istri putus karena perceraian, harta bersama diatur
menurut hukumnya masing-masing. Harta bersama itu dibagi sama rata antara
suami-istri.
4. Perjanjian perkawinan
Jika seorang yang hendak kawin mempunyai
benda-benda yang berharga atau mengharapkan akan memperoleh kekayaan, misalnya
suatu warisan, maka adakalanya diadakan perjanjian perkawinan (huwelijksvoorwaarden).
Perjanjian yang demikian ini menurut Undang-undang harus diadakan sebelumnya
pernikahan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam suatu akte notaris.
Mengenai bentuk dan isi perjanjian
tersebut, sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian lain pada umumnya,
kepada kedua belah pihak diberikan kemerdekaan seluas-luasnya, kecuali satu dua
larangan yang termuat dalam undang-undang dan asal saja mereka itutidak
melanggar ketertiban umum atau kesusilaan.
Suatu perjanjian perkawinan
misalnya, hanya dapat menyingkirkan suatu benda saja(misalnya satu rumah) dari
percampuran kekayaan, tetapi daoat juga menyingkirkan segala percampuran.
Undang-undang hanya menyebutkan dua contoh perjanjian yang terpakai, yaitu
perjanjian “percampuran laba rugi” (“gemeenschap van wist en verlies”)
dan perjanjian”percampuran penghasilan” (“gemeenschap van vruchten en
inkomsten”).
Pada umunya seorang yang masih
dibawah umur, yaitu belum mencapai usia 21 tahun, tidak diperbolehkan bertindak
sendiri dan harus diwakili oleh orang tua atau walinya. Tetapi untuk membuat
suatu perjanjian perkawinan, oleh undang-undang diadakan peraturan
pengecualian. Seorang yang belum dewasa disini, diperbolehkan bertindak sendiri
tetapi ia harus ”dibantu” (“bijgestaan”) oleh orang tua atau orang-orang yang
diharuskan memberi izin kepadanya untuk kawin. Apabila pada waktu membuat
perjanjian itu salah satu pihak ternyata belum mencapai usia yang diharuskan
oleh undang-undang, maka perjanjian itu tidak sah, meskipun perkawinannya
sendiri – yang baru kemudian dilangsungkan – sah. Selanjutnya diperingatkan,
apabila di dalam waktu antara pembuatan perjanjian dan penutupan pernikahan
orang tua atau wali yang membantu terjadinya perjanjian itu meninggal, maka
perjanjian itu batal dan pembuatan perjanjian itu harus diulangi di depan
notaris, sebab orang yang nantiharus memberi izin untuk melangsungkan
pernikahan sudah berganti. Karena itu sebaiknya orang membuat perjanjian
perkawinan, apabila hari pernikahan sudah dekat.
Perjanjian mulai berlaku antara
suami dan isteri, pada saat pernikahan ditutup di depan Pegawai
Pencatatan Sipil dan mulai berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga sejak hari
pendaftarannya di kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat di mana pernikahan
telah dilangsungkan. Orang tidak diperbolehkan menyimpand dari peraturan
tentang saat mulai berlakunya perjanjian ini. Dan juga tidak diperbolehkan
menggantungkan perjanjian pada suatu kejadian yang terletak diluar kekuasaan
manusia, sehingga terdapat suatu keadaan yang meragu-ragukan bagi pihak ketiga,
mislanya suatu perjanjian antara suami dan isteri akan berlaku percampuran laba
rugi kecuali jikalau dari perkawinan mereka dilahirkan seorang anak lelaki.
Perjanjian semacam ini tidak diperbolehkan.
Apabila pendaftaran perjanjian di
kepaniteraan Pengadilan Negeri belum dilakukan, orang-orang pihak ketiga boleh
menganggap suami isteri itu kawin dalam percampuran kekayaan.
Perjanjian perkawina harus diikuti
langsung oleh perkawinan anatara kedua belah pihak yang membikinnya. Jikalau
salah satu pihak terlebih dahulu telah kawin dengan orang lain, dan
baru kemudian menikah dengan tunangannya yang lama, perjanjian yang tadinya
sudah dibikin tak dapat berlaku lagi.
Selainnya larangan umum yang berlaku
bagi tiap perjanjian untuk memasukkan pasal-pasal yang melanggar ketertiban
umum atau kesusilaan, harus diketahui pula bahwa didalam BW terdapat berbagai
pasal yang memuat peraturan tentang apa yang tidak boleh dimasukkan dalam
perjanjian perkawinan.
Pertama-tama ada larangan untuk
membuat suatu perjanjian yang menghapuskan kekuasaan suami sebagai kepala di
dalam perkawinan (“maritale macht”) atau kekuasaannya sebagai ayah (“ouderlijke
macht”) atau akan menghilangkan hak-hak seorang suami atau isteri yang
ditinggal mati. Selanjutnya ada larangan untu membuat suatu perjanjian bahwa si
suami akan memikul suatu bagian yang lebih besar dalam activa daripada
bagiannya dalam passiva. Maksudnya larangan ini, agar jangan sampai
suami-isteri itu menguntungkan diri untuk kerugian pihak-pihak ketiga.
Akhirnya ada larangan pula untuk
memperjanjikan bahwa hubungan suami isteri akan dikuasai oleh hukum dari sesuat
negeri asing. Yang dilarang disini bukannya mencantumkan isi hukum asing itu
dengan perincian pasal demi pasal, tetapi menunjukan secara umum pada hukum
asing itu.
Sebagaimana telah diuraikan,
undang-undang hanya menyebutkan dan megatur dua contoh perjanjian perkawinan
yang banyak dipakai, yaitu perjanjian percapuran laba-rugi (“gemeenschap van
winst en verlies”) dan perjanjian percampuran penghasilan (“gemeenschap
van vruchten en inkomsten”), yang kedua-duanya juga lazim dinamakan
“beperkte gemeenschap”.
Pokok pikiran dari percampuran
laba-rugi, bahwa masing-masing pihak tetap akan memiliki benda bawaannya
beserta masing-masing beserta benda-benda yang jatuh padanya dengan percuma
selama perkawinan (pemberian atau warisan), sedangkan semua penghasilan dari
tenaga atau modal selama perkawinan aka menjadi kekayaan bersama, begitu pula
selam kerugian atau biaya-biaya yang telah mereka keluarkan selama perkawinan
akan dipikul bersama-sama.
Undang-undang mengatakan, bahwa yang
termasuk dalam pengertian “laba” (“winst”) ialah, “segala kemajuan kekayaan
yang timbul dari benda, pekerjaan dan kerajinan masing-masing” (Pasal 157),
tetapi sekarang ini, para ahli hukum suah tidak memegang teguh lagi pada
kata-kata itu dan menurut ajaran yang sekarang lazim dianut segala activa yang
bukan bawaan dianggap kepunyaan bersama, kecuali jika dapat dibuktikan
sebaliknya.
Bagi seseorang yang kawin ada empat
macam kemungkinan untuk memperoleh kekayaan dari perkawinannya, yaitu:
a.
Karena kekayaannya sendiri yang tidak begitu besar tercampur dengan
kekayaan suami atau istri yang lebih besar sebagai akibat kawin dengan
percampuran kekayaan. Cara perolehan ini dinamakan “boedelmenging”.
b.
Karena ia menerima pemberian-pemberian suami arau istri dalam perjanjian
perkawinan.
c.
Karena ia mendapat warisan menurut undang-undang dari kekayaan suami atau
istrinya.
d.
Karena ia menerima pemberian dalam suatu wasiat (testament) dari suami atau
istrinya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Tentang hal larangan untuk kawin
dapat diterangkan, bahwa seorang tidak diperbolehkan kawin dengansaudaranya, meskipun saudara
tiri, seorang tidak diperbolehkan kawin dengan iparnya,
seorang pamandilarang kawin dengan keponakannya dan
sebagainya.
Hak mengurus kekayaan bersama
(“gemeenschap”) berada ditangan suami, yang dalam hal ini mempunyai kekuasaan
yang sangat luas. Selain kekuasaannya hanya terletak dalam larangan untuk
memberikan dengan percuma benda-benda yang bergerak kepada lain orang selain
kepada anaknya sendiri, yang lahir dari perkawinan itu (pasal 124 ayat 3).
Apabila salah satu pihak meninggal
dan masih ada anak-anak di bawah umur, suami atau isteri yang ditinggalkan
diwajibkan dalam waktu bulan membuat suatu pencatatan tentang
kekayaan mereka bersama. Pancatatan ini dapat dilakukan secara authentiek
maupun dibawah tangan dan harus diserahkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri
setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata,
PT Intermasa Jakarta 1985.
http://juraganmakalah.blogspot.com/2013/04/hukum-perkawinan.html
diakses pada tanggal 25-11-2014 jam 21.15
0 Komentar
Masukkan Komentar Anda