PENDAHULUAN
Dalam
hukum pidana islam atau hukum positif kita akan mengenal yang namanya uqubah (hukuman),
bagi pelaku tindak pidana. Didalam
makalah ini saya akan menjelaskan sedikit tentang qishos dan hal-hal yang
menghalangi qishosh (pembunuhan) menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa
dari Imam madzhab lainnya. Hukuman pokok bagi pembunuh disengaja adalah qishosh
(hukuman yang setimpal), maksudnya jika seseorang itu melakukan pembunuhan maka
pelakunya pun harus dibunuh lagi, atau seseorang dilukai maka pelakunya pun
harus dilukai juga.
Pelaku
pembunuhan akan dihukumi qishosh apabila memenuhi unsur-unsur, kecuali jika
adanya hal-hal yang menghalangi dijatuhkannya qishosh. Beberapa sebab yang
menghalangi dijatuhkannya hukuman qishosh tidak ada satu pun yang langsung
disepakati, semuanya diperselisihkan. Walaupun begitu, ada sebagian yang
diambil oleh mayoritas fuqaha dan sebagian lainnya lagi diambil oleh minoritas
fuqaha.
PEMBAHASAN
Hukuman
pokok bagi pembunuh disengaja adalah qisosh. Karena, pelaku dihukumi dengan
hukuman qisosh jika unsur-unsurnya terpenuhi kecuali jika ada sebab-sebab yang
menghalangi dijatuhkannya hukuman qisosh. Beberapa sebab yang menghalangi
qisosh tidak ada satu pun yang disepakati, semuanya diperselisihkan. Walaupun
demikian, ada sebagian yang diambil oleh mayoritas fuqaha dan sebagian yang
lain diambil oleh minoritas fuqaha. Beberapa sebab-sebab yang menghalangi hukuman
qishos antara lain:
1.
Korban
adalah Bagian dari Pelaku Pembunuhan
Imam
Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi,i berpendapat bahwa jika korban
yang dibunuh termasuk bagian dari pembunuh, hukuman qishos menjadi terhalang.
Korban termasuk bagian dari pembunuh jika yang membunuh adalah bapaknya. Jika
seorang ayah membunuh anaknya dengan sengaja, ia tidak berhak dihukum qishos.
Hal ini berdasarkan hadis Rasulallah SAW.
“
Seorang ayah tidak diqishos karena membunuh anaknya”.
Juga
hadits lain,
“kamu
dan hartamu adalah milik ayahmu”.
Hadits pertama jelas menghalangi hukuman
qishos, sedangkan hadits kedua, walaupun tidak jelas menghalangi qishos, isi
teksnya menghalangi hukuman qishosh karena kepemilikan ayah terhadap anaknya.
Walaupun tidak nyata sebagai hakikat kepemilikan, hal tersebut menjadi syubhat
yang dapat menghalangi qishosh karena kaidah hukum Islam “Hindari
hukuman-hukuman hudud karena ada syubhat”.
Adapun anak yang membunuh orang tua, ia
harus diqishos, baik yang dibunuh itu ayah maupun ibunya, sesuai dengan nas-nas
yang bersifat umum. Ini karena nas yang khusus tidak mengeluarkan hukum nas
yang umum kecuali orang tua. Alasan ulama membedakan hukum antara anak dan
orang tua karena melarang dan mencegah anak itu lebih penting dan tepat
dibandingkan mencegah orang tua karena
orang tua mencintai anaknya demi anaknya, bukan demi dirinya, tanpa menunggu
kebaikan anaknya. Hal ini menuntut orang tua untuk memelihara kehidupan
anaknya.
Adapun anak, ia mencintai orang tuanya
demi dirinya, bukan demi orang tuanya. Artinya ia mencintai orang tua karena
ada manfaat yang ingin ia dapatkan melalui orang tuanya. Hal ini tidak menuntut
adanya keinginan anak atas hidupnya orang tua karena seluruh harta orang tuanya
nanti akan beralih padanya setelah orang tuanya wafat. Kecintaan sang anak
terhadap dirinya bertentangan dengan tetap hidupnya orang tua.
Hukum ibu sama dengan hukum ayah. Jika
seorang ibu membunuh anaknya, ia tidak
berhak diqishos karena nas yang ada menyebutkan kata orang tua,
sedangkan ibu adalah salah satu orang tua. Karena ia lebih utama untuk diabdi
dengan baik, hukum tidak adanya qishos terhadap ibu itu lebih kuat.
Tetapi, Imam Ahmad bin Hanbal mempunyai
pendapat lain yang tidak dipakai, yaitu meng-qishos ibu karena membunuh
anaknya. Alasannya, kareana ibu tidak mempunyai perwalian terhadap anaknya.
Pendapat ini ditolak karena perwalian tidak ada kaitannya dengan menghalangi
qishosh. Terbukti ketika sang ayah tidak diqishos ketika ia membunuh anaknya
yang sudah dewasa, padahal sang ayah sudah tidak mempunyai perwalian
terhadapnya.
Imam Ahmad bin Hanbal memiliki pendapat lain
yang tidak digunakan, yang intinya “sesungguhnya, seorang anak tidak dibunuh (diqisosh)
karena membunuh orang tuanya karena ia termasuk orang yang tidak diterima
kesaksiannya untuk orang tuanya, karena hubungan nasab. Ia tidak dibunuh karena
membunuh orang tuanya, sama seperti orang tua tidak di qisosh, karena membunuh
anaknya karena ia termasuk orang yang tidak diterima kesaksiannya”. Pendapat
ini ditolak karena nash yang bersifat umum menuntut agar masing-masing dari
keduannya dibunuh karena membunuh yang lain kalau saja tidak nash yang bersifat
khusus yang membatasi hanya untuk anak. Sesungguhnya, orang tua lebih agung
kehormatan dan haknya atas anaknya dibanding orang lain, siapapun dia. Jika
seorang anak dibunuh karena membunuh orang lain, ia lebih berhak dibunuh ketika
ia membunuh orang tuannya. Begitu juga anak harus dihukum hudud karena
meng-qazaf orang tuanya maka ia harus dibunuh.
2.
Korban
Tidak setara dengan Pelaku
Untuk meng-qishos pelaku, Imam Malik,
Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal mensyaratkan korban harus setara dengan
pelaku. Jika tidak setara, hukuman qishos menjadi terhalang. Menurut mereka,
korban dianggap setara dengan pelaku, jika pelaku tidak melebihi korban dalam
dalam hal Islam dan kemerdekaannya. Jika keduanya sama dalam hal Islam dan
kemerdekaan, maka dianggap setara. Keduanya tidak perlu dibedakan dari hal
lainnya. Karena, tidak disyaratkan harus sama dalam kesempurnaan fisik,
kesehatan anggota badan, juga dalam kemuliaan dan keutamaan. Karena itu, wajib
qishos wajib qishos bagi yang tidak cacat fisiknya karena membunuh orang cacat,
orang sehat membunuh orang sakit, orang dewasa membunuh anak kecil, orang
berilmu membunuh orang bodoh, penguasa membunuh rakyatnya, laki-laki membunuh
perempuan dan seterusnya.
Allah
SWT berfirman:
“…Orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan
perempuan..” (Q.S. al-Baqarah:178)
Dan
sabda Rasulullah SAW,
“Orang-orang muslim
darahnya adalah setara”.
Dengan adanya syarat kesetaraan bagi
korban, bukan pelaku, maka jika korban tidak setara dengan pelaku, hukuman
qishosh menjadi terhalang. Misalnya pembunuhnya seorang muslim dan korbannya
orang kafir atau pembunuhnya orang merdeka dan korbannya seorang budak. Akan
tetapi kesetaraan tidak disyaratkan bagi pelaku. Jika pelaku tidak setara
dengan pelaku, hal ini tidak menghalangi qishosh. Ini karena syarat setara
diundang-undangkan untuk mencegah qishosh orang yang lebih tinggi karena
membunuh orang yang lebih rendah dan tidak di undangkan untuk menghalangi
qishosh orang yang lebih rendah karena membunuh orang yang lebih tinggi.
Jika seorang kafir membunuh orang muslim
atau seorang budak membunuh orang merdeka, dia harus dibunuh karena tidak ada
kesetaraan antar keduanya karena kekurangan berada pada pelaku, bukan pada
korban. Kekurangannya adalah kekafiran dan hamba sahaya, sedangkan nilai
tambahnya adalah Islam dan kemerdekaan.
3.
Pelaku
Tidak Melakukan Secara Langsung
Syarat
ini berlaku ketika pelaku tindak pidana lebih dari satu orang. Ini karena
ketika pelaku sendirian, ia langsung melakukannya sendirian, baik pembunuhnya
secara langsung maupun tidak langsung. Adapun jika pelakunya lebih dari satu
orang, sebagian dari mereka ada yang melakukan langsung dan ada yang membantu
mereka, bahkan sebagian ada yang memotivasinya untuk melakukan tindak pidana.
Hal
yang disepakati imam madzhab yang empat bahwa banyaknya jumlah pelaku tidak
menghalangi dijatuhkannya qishosh bagi mereka, selama masing-masing dari mereka
turut melakukan tindakk pidana. Jika qishosh menuntut persamaan, persamaan yang
dimaksud adalah syarat dalam perbuatan, bukan persamaan dalam jumlah pelaku dan
korban. Yang paling berhak mendapat qishosh adalah sekelompok orang yang
membunuh satu orang karena pembunuhan biasanya dilakukan secara bersama-sama.
Jika hukum qishosh tidak diberlakukan dalam kasus ini, niscaya akan tertutup
pintu qishosh karena, setiap orang yang ingin membunuh orang lain pasti akan
meminta bantuan orang lain untuk bergabung, guna membatalkan qishosh atas
dirinya. Dari sini tujuan difardukannya qishosh akan gagal yaitu melindungi
kelangsungan hidup dan mencegah pembunuhan.
Ada
satu riwayat dari imam Ahmad bin Hanbal bahwa qishosh dianggap gugur jika
pelaku tindak pidana berjumlah banyak dan wajib atas mereka membayar diat. Ibnu
Zubair, Ibnu Sirin dan yang lain berpendapat bahwa yang berhak diqishosh hanya
satu dari mereka, sedangkan yang lain wajib membayar diat. Alasan tidak adanya
qishosh karena masing-masing dari mereka statusnya setara dengan pelaku. Karena
itu, pelaku tidak boleh diganti dengan banyak orang karena korbannya hanya satu
orang. Begitu juga tidak wajib membayar beberapa diat karena satu pembunuhan.
Allah SWT berfirman:
“…Orang
merdeka dengan orang merdeka…” (QS. Al-Baqarah:178)
dan
“…nyawa
(dibalas) dengan nyawa…” (QS al-Maidah:45)
Artinya,
tidak boleh menimpakan hukuman kepada lebih dari satu orang karena membunuh
satu orang.
Adapun
tambahan dibawah ini ada hal-hal yang menghalangi qishosh, menurut Imam Abu
Hanifah yang tidak disepakati oleh ketiga imam madzhab lainnya:
1. Pembunuhan
tidak Langsung.
2. Wali
Korban Tidak Diketahui.
3. Pembunuhan
Tidak Terjadi di Negara Non-Islam.
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukuman
pokok bagi pembunuh disengaja adalah qisosh. Pelaku dihukumi dengan hukuman
qisosh jika unsur-unsurnya terpenuhi kecuali jika ada sebab-sebab yang menghalangi
dijatuhkannya hukuman qisosh. Beberapa sebab yang menghalangi qisosh tidak ada
satu pun yang disepakati, semuanya diperselisihkan.
Menurut Imam Hanbali dan Imam Madzhab lainnya selain Imam Abu Hanifah hukuman qishosh akan terhalang apabila 3 sebab:
Menurut Imam Hanbali dan Imam Madzhab lainnya selain Imam Abu Hanifah hukuman qishosh akan terhalang apabila 3 sebab:
1. Korban
adalah bagian dari pelaku pembunuhan.
2. Korban
tidak setara dengan pelaku.
3. Pelaku
tidak melakukan secara langsung.
bersumber dari buku "at tasyri al jina'i" Abdul Qodir Audah.
bersumber dari buku "at tasyri al jina'i" Abdul Qodir Audah.
0 Komentar
Masukkan Komentar Anda