Rols

6/recent/ticker-posts

Advertisement

Responsive Advertisement

Hal-hal yang Menghalangi Qishosh Menurut Empat Imam Madzhab

PENDAHULUAN
Dalam hukum pidana islam atau hukum positif kita akan mengenal yang namanya uqubah (hukuman), bagi  pelaku tindak pidana. Didalam makalah ini saya akan menjelaskan sedikit tentang qishos dan hal-hal yang menghalangi qishosh (pembunuhan) menurut Imam Ahmad bin Hanbal dan beberapa dari Imam madzhab lainnya. Hukuman pokok bagi pembunuh disengaja adalah qishosh (hukuman yang setimpal), maksudnya jika seseorang itu melakukan pembunuhan maka pelakunya pun harus dibunuh lagi, atau seseorang dilukai maka pelakunya pun harus dilukai juga.
Pelaku pembunuhan akan dihukumi qishosh apabila memenuhi unsur-unsur, kecuali jika adanya hal-hal yang menghalangi dijatuhkannya qishosh. Beberapa sebab yang menghalangi dijatuhkannya hukuman qishosh tidak ada satu pun yang langsung disepakati, semuanya diperselisihkan. Walaupun begitu, ada sebagian yang diambil oleh mayoritas fuqaha dan sebagian lainnya lagi diambil oleh minoritas fuqaha.


PEMBAHASAN
Hukuman pokok bagi pembunuh disengaja adalah qisosh. Karena, pelaku dihukumi dengan hukuman qisosh jika unsur-unsurnya terpenuhi kecuali jika ada sebab-sebab yang menghalangi dijatuhkannya hukuman qisosh. Beberapa sebab yang menghalangi qisosh tidak ada satu pun yang disepakati, semuanya diperselisihkan. Walaupun demikian, ada sebagian yang diambil oleh mayoritas fuqaha dan sebagian yang lain diambil oleh minoritas fuqaha. Beberapa sebab-sebab yang menghalangi hukuman qishos antara lain:
1.      Korban adalah Bagian dari Pelaku Pembunuhan
Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Hanifah, dan Asy-Syafi,i berpendapat bahwa jika korban yang dibunuh termasuk bagian dari pembunuh, hukuman qishos menjadi terhalang. Korban termasuk bagian dari pembunuh jika yang membunuh adalah bapaknya. Jika seorang ayah membunuh anaknya dengan sengaja, ia tidak berhak dihukum qishos. Hal ini berdasarkan hadis Rasulallah SAW.
“ Seorang ayah tidak diqishos karena membunuh anaknya”.
Juga hadits lain,
“kamu dan hartamu adalah milik ayahmu”.
Hadits pertama jelas menghalangi hukuman qishos, sedangkan hadits kedua, walaupun tidak jelas menghalangi qishos, isi teksnya menghalangi hukuman qishosh karena kepemilikan ayah terhadap anaknya. Walaupun tidak nyata sebagai hakikat kepemilikan, hal tersebut menjadi syubhat yang dapat menghalangi qishosh karena kaidah hukum Islam “Hindari hukuman-hukuman hudud karena ada syubhat”.  
Adapun anak yang membunuh orang tua, ia harus diqishos, baik yang dibunuh itu ayah maupun ibunya, sesuai dengan nas-nas yang bersifat umum. Ini karena nas yang khusus tidak mengeluarkan hukum nas yang umum kecuali orang tua. Alasan ulama membedakan hukum antara anak dan orang tua karena melarang dan mencegah anak itu lebih penting dan tepat dibandingkan mencegah  orang tua karena orang tua mencintai anaknya demi anaknya, bukan demi dirinya, tanpa menunggu kebaikan anaknya. Hal ini menuntut orang tua untuk memelihara kehidupan anaknya.
Adapun anak, ia mencintai orang tuanya demi dirinya, bukan demi orang tuanya. Artinya ia mencintai orang tua karena ada manfaat yang ingin ia dapatkan melalui orang tuanya. Hal ini tidak menuntut adanya keinginan anak atas hidupnya orang tua karena seluruh harta orang tuanya nanti akan beralih padanya setelah orang tuanya wafat. Kecintaan sang anak terhadap dirinya bertentangan dengan tetap hidupnya orang tua.
Hukum ibu sama dengan hukum ayah. Jika seorang ibu membunuh anaknya, ia tidak  berhak diqishos karena nas yang ada menyebutkan kata orang tua, sedangkan ibu adalah salah satu orang tua. Karena ia lebih utama untuk diabdi dengan baik, hukum tidak adanya qishos terhadap ibu itu lebih kuat.
Tetapi, Imam Ahmad bin Hanbal mempunyai pendapat lain yang tidak dipakai, yaitu meng-qishos ibu karena membunuh anaknya. Alasannya, kareana ibu tidak mempunyai perwalian terhadap anaknya. Pendapat ini ditolak karena perwalian tidak ada kaitannya dengan menghalangi qishosh. Terbukti ketika sang ayah tidak diqishos ketika ia membunuh anaknya yang sudah dewasa, padahal sang ayah sudah tidak mempunyai perwalian terhadapnya.
Imam Ahmad bin Hanbal memiliki pendapat lain yang tidak digunakan, yang intinya “sesungguhnya, seorang anak tidak dibunuh (diqisosh) karena membunuh orang tuanya karena ia termasuk orang yang tidak diterima kesaksiannya untuk orang tuanya, karena hubungan nasab. Ia tidak dibunuh karena membunuh orang tuanya, sama seperti orang tua tidak di qisosh, karena membunuh anaknya karena ia termasuk orang yang tidak diterima kesaksiannya”. Pendapat ini ditolak karena nash yang bersifat umum menuntut agar masing-masing dari keduannya dibunuh karena membunuh yang lain kalau saja tidak nash yang bersifat khusus yang membatasi hanya untuk anak. Sesungguhnya, orang tua lebih agung kehormatan dan haknya atas anaknya dibanding orang lain, siapapun dia. Jika seorang anak dibunuh karena membunuh orang lain, ia lebih berhak dibunuh ketika ia membunuh orang tuannya. Begitu juga anak harus dihukum hudud karena meng-qazaf orang tuanya maka ia harus dibunuh.
2.      Korban Tidak setara dengan Pelaku
Untuk meng-qishos pelaku, Imam Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal mensyaratkan korban harus setara dengan pelaku. Jika tidak setara, hukuman qishos menjadi terhalang. Menurut mereka, korban dianggap setara dengan pelaku, jika pelaku tidak melebihi korban dalam dalam hal Islam dan kemerdekaannya. Jika keduanya sama dalam hal Islam dan kemerdekaan, maka dianggap setara. Keduanya tidak perlu dibedakan dari hal lainnya. Karena, tidak disyaratkan harus sama dalam kesempurnaan fisik, kesehatan anggota badan, juga dalam kemuliaan dan keutamaan. Karena itu, wajib qishos wajib qishos bagi yang tidak cacat fisiknya karena membunuh orang cacat, orang sehat membunuh orang sakit, orang dewasa membunuh anak kecil, orang berilmu membunuh orang bodoh, penguasa membunuh rakyatnya, laki-laki membunuh perempuan dan seterusnya.
Allah SWT berfirman:
“…Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya dan perempuan dengan perempuan..” (Q.S. al-Baqarah:178)
Dan sabda Rasulullah SAW,
“Orang-orang muslim darahnya adalah setara”.
Dengan adanya syarat kesetaraan bagi korban, bukan pelaku, maka jika korban tidak setara dengan pelaku, hukuman qishosh menjadi terhalang. Misalnya pembunuhnya seorang muslim dan korbannya orang kafir atau pembunuhnya orang merdeka dan korbannya seorang budak. Akan tetapi kesetaraan tidak disyaratkan bagi pelaku. Jika pelaku tidak setara dengan pelaku, hal ini tidak menghalangi qishosh. Ini karena syarat setara diundang-undangkan untuk mencegah qishosh orang yang lebih tinggi karena membunuh orang yang lebih rendah dan tidak di undangkan untuk menghalangi qishosh orang yang lebih rendah karena membunuh orang yang lebih tinggi.
Jika seorang kafir membunuh orang muslim atau seorang budak membunuh orang merdeka, dia harus dibunuh karena tidak ada kesetaraan antar keduanya karena kekurangan berada pada pelaku, bukan pada korban. Kekurangannya adalah kekafiran dan hamba sahaya, sedangkan nilai tambahnya adalah Islam dan kemerdekaan.
3.      Pelaku Tidak Melakukan Secara Langsung
Syarat ini berlaku ketika pelaku tindak pidana lebih dari satu orang. Ini karena ketika pelaku sendirian, ia langsung melakukannya sendirian, baik pembunuhnya secara langsung maupun tidak langsung. Adapun jika pelakunya lebih dari satu orang, sebagian dari mereka ada yang melakukan langsung dan ada yang membantu mereka, bahkan sebagian ada yang memotivasinya untuk melakukan tindak pidana.
Hal yang disepakati imam madzhab yang empat bahwa banyaknya jumlah pelaku tidak menghalangi dijatuhkannya qishosh bagi mereka, selama masing-masing dari mereka turut melakukan tindakk pidana. Jika qishosh menuntut persamaan, persamaan yang dimaksud adalah syarat dalam perbuatan, bukan persamaan dalam jumlah pelaku dan korban. Yang paling berhak mendapat qishosh adalah sekelompok orang yang membunuh satu orang karena pembunuhan biasanya dilakukan secara bersama-sama. Jika hukum qishosh tidak diberlakukan dalam kasus ini, niscaya akan tertutup pintu qishosh karena, setiap orang yang ingin membunuh orang lain pasti akan meminta bantuan orang lain untuk bergabung, guna membatalkan qishosh atas dirinya. Dari sini tujuan difardukannya qishosh akan gagal yaitu melindungi kelangsungan hidup dan mencegah pembunuhan.
Ada satu riwayat dari imam Ahmad bin Hanbal bahwa qishosh dianggap gugur jika pelaku tindak pidana berjumlah banyak dan wajib atas mereka membayar diat. Ibnu Zubair, Ibnu Sirin dan yang lain berpendapat bahwa yang berhak diqishosh hanya satu dari mereka, sedangkan yang lain wajib membayar diat. Alasan tidak adanya qishosh karena masing-masing dari mereka statusnya setara dengan pelaku. Karena itu, pelaku tidak boleh diganti dengan banyak orang karena korbannya hanya satu orang. Begitu juga tidak wajib membayar beberapa diat karena satu pembunuhan. Allah SWT berfirman:
“…Orang merdeka dengan orang merdeka…” (QS. Al-Baqarah:178)
dan
“…nyawa (dibalas) dengan nyawa…” (QS al-Maidah:45)
Artinya, tidak boleh menimpakan hukuman kepada lebih dari satu orang karena membunuh satu orang.
Adapun tambahan dibawah ini ada hal-hal yang menghalangi qishosh, menurut Imam Abu Hanifah yang tidak disepakati oleh ketiga imam madzhab lainnya: 
1.      Pembunuhan tidak Langsung.
2.      Wali Korban Tidak Diketahui.
3.      Pembunuhan Tidak Terjadi di Negara Non-Islam.
PENUTUP
KESIMPULAN
Hukuman pokok bagi pembunuh disengaja adalah qisosh. Pelaku dihukumi dengan hukuman qisosh jika unsur-unsurnya terpenuhi kecuali jika ada sebab-sebab yang menghalangi dijatuhkannya hukuman qisosh. Beberapa sebab yang menghalangi qisosh tidak ada satu pun yang disepakati, semuanya diperselisihkan.
Menurut Imam Hanbali dan Imam Madzhab lainnya selain Imam Abu Hanifah hukuman qishosh akan terhalang apabila 3 sebab:
1.      Korban adalah bagian dari pelaku pembunuhan.
2.      Korban tidak setara dengan pelaku.
3.      Pelaku tidak melakukan secara langsung.

bersumber dari buku "at tasyri al jina'i" Abdul Qodir Audah.

Posting Komentar

0 Komentar

Perbedaan KCU dan KCP